Terkadang apa yang
ada di sekitar kita bertentangan dengan perasaan yang kita terima.
Pernah merasa
sendiri di tengah keramaian ?
Aku pernah. Tidak,
ini bukan tentang berada di tengah alun – alun kota yang ramai dengan histeria
masyarakat. Bukan pula tentang berada di tengah keramaian pasar yang sesak. Ini
tentang kaburnnya rasa solidaritas. Sering kali aku merasakan kumpul bersama di
tengah – tengah para teman, namun yang aku rasakan justru sendirian. Terabaikan
dan dikucilkan. Seakan ada sekat tak kasat mata yang memisahkan. Entah faktor
apa yang menyebabkan ? akupun tak pernah mengambil kesimpulan. Atau lebih
parahnya terlalu takut menerima kenyataan jika sebenarnya diri ini tak
sebanding dengan mereka. Berbeda kasta, pendapat dan pranata sosial.
Pernah
mengeluarkan tawa disaat hati tak ingin tertawa ?
Meris, getir, dan
ironis. Mungkin tiga kata itu tak cukup untuk dijadikan gambaran. Lelah rasanya
harus berpura – pura. Sesuatu yang mereka anggap candaan bagiku justru pukulan.
Mereka seolah aktor kawakan yang berkamuflase di bawah sandiwara bernama peran.
Seakan menutup sebelah mata terhadap apa yang aku rasakan. Seolah apa yang
meraka lakukan merupakan lelucon semata yang tak perlu dimasukkan kedalam
perasaan. Tapi apa daya yang bisa kulakukan hanya diam. Mungkin mereka mengira
aku yang terlalu berperasaan, tapi apa mereka pernah berfikir jika leluconnya
lah tak berperasaan. Jamu diberi gula sekilo-pun tetap saja akan menjadi jamu,
tak akan berubah menjadi madu.
Pernah dibanding –
bandingkan ?
Aku pernah. Dan
itu sangat menyakitkan. Bukankah manusia memiliki keunikan dan ke-khasan masing
– masing. Tapi, mengapa mereka senang menjadi manusia yang tidak memiliki
kerjaan, yang menghabiskan waktunya untuk mengoreksi segala cela dan keburukan
orang lain ?
Dari sini aku
belajar, jika tak selamanya kita bisa membuat orang lain senang dengan
perbuatan kita. Terlalu banyak orang munafik yang berkeliaran. Manis di depan,
namun racun di belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar