Kamis, 10 Maret 2016

The Metropolis Union’s Family

Adalah SMA Kalang Kabut. Sekolah swasta yang hampir menyerupai angin ribut. Sampah bertebaran ditemui di mana-mana, coretan tembok nyaris tak bersisa, bahkan jendela kaca banyak yang bolong akibat siswanya yang menendang bola tak tahu arah. Saking bapernya hingga bola yang ditendang melayang melewati gawang dan menembus jendela kaca. 

Sungguh bukan salah sang penguasa (Baca: Kepala sekolah) murid-muridnya saja yang kelewat luar biasa. Sampai-sampai sepuluh orang pak kebun yang bekerja, nyaris kualahan tak terkira. Akibat pola siswanya yang tergesa-gesa. Pantas saja setiap tahunnya, SMA Kalang kabut selalu gagal mendapatkan piala kalpataru dari wali kota. Meskipun demikian, sekolah swasta itu tetaplah istimewa. Menjadi sekolah favorit di jajaran kaum sosialita. Entah bagaimana bisa, katanya sih meskipun terkenal bad boys and bad girls, siswa-siswinya juga dianugerahi kepintaran yang diluar logika.


Ibarat pepatah: Tak ada rotan akarpun jadi – sangatlah cocok bagi mereka. Meskipun SMA Kalang Kabut tak pernah mendapatkan penghargaan kalpataru dari wali kota, para siswanya tak pernah absen mendapat juara olimpiade lintas benua. Apapun itu, dimulai dari olimpiade fisika hingga festival seni budaya. 

Perkenalkan...

The Union’s Family. Adalah salah satu aset paling berharga di SMA Kalang Kabut. Selain terdapat Brambang - seorang saudagar kaya yang menjadi donatur terbesar, juga ada sepasang anak kembar yang IQ-nya hampir melebihi presiden ketiga Indonesia.  Puput dan Memei namanya. Tak ada yang tahu jika Puput dan Memei adalah sepasang anak kembar. Selain karena wajahnya yang non identik. Brambang, sang ayah juga meminta pihak sekolah tuk merahasiakan identitas putri-putrinya. Jika ditanya alasannya mengapa, itu karena si kembar yang meminta. Sebagai ayah, Blambang menurut saja. Cukuplah ia disibukkan dengan perusahaan kapalnya yang besar tak terkira.

***
Siang itu matahari bertengger tepat di atas gedung SMA Kalang Kabut. Para siswa pada bersembunyi di dalam ruangan yang dipenuhi oleh suhu AC. Lapangan futsal, basket, dan sepak bola kosong  melompong seketika. Mungkin para siswa bandel itu takut kulit mulusnya habis terbakar sang surya. Dimenit yang sama. Terlihat sebuah mini cooper merah memasuki area parkiran dengan sempurna. Sejurus kemudian, turun seorang gadis cantik berambut sebahu dengan tas yang dicangklongkan. Ia barusaja pulang menghadiri seminar motivasi di sekolah seberang.

Tak lama kemudian, sebuah lamborghini putih menyusul parkir di sebelahnya. Kemudian turun pula seorang gadis cantik dengan tas ransel di pundaknya. Mereka berdua hanya menatap sekilas, kemudian saling berlalu tanpa bertegur sapa.

***

 “Woi, Nino! Satu tambah satu sama dengan berapa?”

 “Ya dua, bego! Gitu aja nggak tau. Balik ke SD sono!”

“Salah dodol. Enak aja lo nyuruh gue balik SD. Tanya aja sama bebeb gue satu tambah satu sama dengan berapa!”

Si Nino mengernyit jijik. Ia ingin sekali menjitak teman sebangkunya itu. Namanya sebastian. Satu kelas kompak mengolokinya “sebatas teman tanpa kepastian”. Bukan apa-apa, pasalnya sejak awal dia masuk di SMA Kalang Kabut, hingga kini duduk di kelas XII. Aksi pedekatenya tak pernah berjalan mulus. Si Puput hanya menganggapnya sebatas teman. 

Cewek berkulit putih itu selalu cuek kepada setiap cowok yang mendekatinya. Bukan lantaran tidak pede karena dianugerahi kulit yang kelewat putih seperti orang penderita albino, hanya saja cewek cantik itu masih memiliki segudang mimpi. Ia Ingin menciptakan roket pribadi dan mengajak seluruh keluarganya ke bulan, tuk menancapkan bendera ber-icon bawang di planet hampa udara tersebut.

Alasannya adalah, agar keluarga bawang tak hanya dikenal oleh penduduk  mancanegara, tetapi juga dikenal oleh alien yang menetap di luar angkasa. Tentu saja berpacaran, tidak termasuk dalam list hidupnya. Kecuali menikah suatu hari nanti. 

“Bebeb? Bebeb, mana bebeb?” Nino meletakkan tangannya di atas alis, berdiri sambil celingak-celinguk ke kiri dan kanan. Bastian yang kesal, sontak meninju lengan temannya. “Adoowwww, sakit bego!” rintih Nino kemudian.

“Nggak usah lebay deh. Jijik gue.” Sunggut Sebastian kesal.

“Woy, kebalik kelesssss.” Sunggut Nino tak terima. Seisi kelas mana peduli dengan pertengkaran duo ubur-ubur itu. Mereka semakin asik dengan dunia kecil di genggaman tangannya. Sungguh secara tidak langsung, media maya kini mampu menciptakan peradaban tersendiri bagi penikmatnya.

Tak lama berselang, pintu kelas XII IPA 1 terkuak lebar. Gadis yang menjadi objek pembicaraan muncul dengan senyum mengembang. Ditariknya kursi di deretan paling depan, bersiap untuk duduk sebentar. Namun naas tiba-tiba datang. Afiqa gadis manis yang duduk di di belakangnya mendadak tertawa keras, yang kemudian diikuti oleh seisi kelas. Ternyata tertawa juga bisa menular.

Dengan responsive Puput memeriksa seluruh tubuhnya. mencari-cari apakah ada yang aneh dengan penampilannya. Kernyitan dahi Puput semakin dalam tatkala tak menemukan hal aneh dengan penampilannya. Lalu kenapa semuanya pada tertawa keras?

“Yaampun bebeb. Are you ok? kalau pendarahan nggak usah masuk beb.” Sebastian satu-satunya teman sekelasnya yang tak ikutan tertawa. Wajah panik sangat kentara ia tampakkan. Setelah berhasil mencapai bangku Puput. Nino langsung menyampirkan jaketnya di pinggang kekasihnya. Ralat, kekasih tak sampai.

“Dasar sebatas teman tanpa kepastian somplak. Si Puput bukan perdarahan woi!” teriak Nino dari bangkunya.
            
Tanpa bertanya lebih jauh lagi, Puput langsung mengerti apa yang terjadi. Sejurus kemudian ia melesat menuju kamar mandi. Memastikan kebenaran ucapan Sebastian dan Nino. Dan jika memang benar, tenggelamkan saja Puput ke rawa-rawa. Pantas saja selama kegiatan seminar berlangsung, beberapa peserta yang melihatnya mesam-mesem nggak jelas. Puput fikir itu adalah bentuk kesopanan. Uh, memikirkan itu membuat kulit putih Puput serasa terbakar.

***
Lain gubuk, lain pula ilalang. Di ruang XII IPS, Memei disambut dengan tangan terbuka. Tepukan riuh, menggema hingga koridor paling ujung. Memei bukan hanya bintang kelas bagi mereka, ia juga satu-satunya siswi yang unik. Bagaimana tidak, seluruh kulit Memei bewarna putih kemerahan. Jika pada daun, sudah sangat jelas daun tersebut tak berklorofil. Meskipun demikian keanehan itu tak membuat Memei dikucilkan, ataupun ditindak diskriminatif. Justru teman-temannya menjadikannya princess yang special.

 “Mei, gimana tadi acaranya? Seru tidak?”

“Memei, satu jam tampa kamu berasa satu abad tau nggak. Duh lain kali kalau mau ikutan seminar, diluar jam pelajaran aja deh. Nggak ada lo nggak rame tau ngga.”

Memei tertawa puas. Tak lupa ia mengeluarkan batangan coklat dari dalam tasnya, kemudian membagikan terhadap seisi kelas. “Bilang aja kalian nggak dapat contekan.” Cibir Memei setengah tergelak. Seluruh kelas yang tengah berebut coklat pun juga tergelak. Begitulah Memei, kehadirannya selalu dirindukan. Tiba-tiba penglihatannya tertuju pada bolongan yang berada di jendela bagian samping kanan. “Kali ini siapa nih yang kebawa perasaan?”

Tak ada sahutan. Ketika menoleh ke belakang, seluruh temannya masih berkumpul berebut coklat. Seharusnya tadi Memei membaginya dulu. Biar tidak anarkis seperti itu.

 Aaaaaaaaa…..

Kalista berteriak heboh. Ia melihat seekor tikus gendut keluar dari tas cangklong Memei. Tak menunggu satu menit, kelas itu berubah menjadi ricuh. Para gadis segera melompat ke atas bangku. Memandang jijik pada tikus gendut yang ditaksir baru saja keluar dari got itu. Siswa cowok lainnya malah lebih memilih mengambil kesempatan dalam kesempatan.

Belum juga Memei ngeh dengan perubahan drastis, beberapa siswi banyak yang keluar kelas memuntahkan cokelat yang baru digigitnya secuil. Bukan keracunan. Hanya saja mereka merasa jijik mengingat coklat itu berada di dalam tas yang sama dengan tikus. Dan mulai detik ini juga, pandangan seisi kelas terhadap Memei langsung berbeda.

***

Tak perlu bel pulang sekolah berbunyi, Memei dan Puput langsung meninggalkan sekolah tanja ijin. Bersama kendaraan masing-masing, mereka menuju sebuah tempat yang disebut markas. Tempat itu berada di atas pohon. Sebuah rumah pohon unik yang berbentuk bawang. Mengapa bawang? Karena di keluarga mereka memang identic dengan bawang. Hei bahkan nama sepasang anak kembar itu tak luput dari kata bawang.

Bawang Putih yang dipanggil Puput, dan Bawang Merah yang dipanggil Memei. Mirip sebuah kisah dongeng memang, namun bisa dipastikan kisah mereka tak akan sama dengan dongeng kejahatan ibu tiri itu. Keluarga mereka hidup di jaman mellenium, dan tinggal di kota Metropolitan. Dan meskipun mereka mempunyai ibu tiri yang dipanggil Bumba, mereka yakin ibu tiri mereka buakan tipekal wanita kolot yang haus akan harga Brambang.

“Jadi gimana mungkin  di rok kamu bisa ada noda merah seperti darah?” Memei memulai percakapan. Ia menatap adik lima menitnya tanpa kedip.

Puput menghela nafas jengah. Kalau dia tahu, ngapain juga ngajak ketemuan. Tentu sekarang Puput lebih memilih menemui orang yang mengerjainya, dan memberinya pelajaran. Hitung-hitung biar kapok tuh orang. “Menurut kamu?”

“Makanya jangan terlalu cuek jadi orang. Punya musuh kan jadinya.”

“Dasar sotoy, siapa juga yang punya musuh.” Desis Puput tak terima. Ia bergeming dengan posisinya yang tidur tengkurap berbantalkan bantal bawang bertuliskan namanya. Sedang Memei tak terpengaruh dengan desisan Puput. Ia masih serius mengobservasi noda merah yang masih menempel tepat di rok Puput bagian belakang.

“Lalu ini apa?”

“Kena saos kali.” Jawab puput ogah-ogahan.

Gantian Memei yang mendengus. “Kok bisa sih otak dong-dong kaya kamu menang olimpiade fisika? Jelas-jelas noda sulit dihilangkan gini, dibilang saos. Ini tuh bener-bener mirip darah dodol. Pasti semacam cat yang dicampur dengan apa gitu.”

“Kamu juga jangan sok tau.” Puput menegakkan tubuhnya, dan mengambil air minum yang selalu disediakannya di pojok ruangan. Menegak isinya sedikit, kemudian melanjutkan ucapannya. “Jangan sembarangan nuduh juga. nanti jadinya fitnah.”

Memei terdiam, mencerna ucapan dari sebagian dirinya. “Kamu sendiri, gimana bisa sampai ada tikus di dalam tas? Kamu nggak mendadak punya hobby mengoleksi tikus kan?” Selidik Puput.

“Kurang kerjaan banget ngumpulin tikus. Tikus got lagi.” Memei pun bergidik jijik. Puput terkekeh pelan. Lumayan menghibur diri sendiri.

“Jadi siapa ya?” Gumam mereka bersamaan. Dasar bawang kembar.

***
Detik berganti menit, menit pun beganti  jam dan demikian seterusnya. Seminggu telah berlalu semenjak insiden konyol itu. Dan selama seminggu ini mereka tak menemukan petunjuk apapaun. Yang ada setiap harinya mereka selalu tertimpa kesialan yang bertubi-tubi. Caranya pun juga sama tak wajarnya dengan insiden tempo hari.

Selain buku cetaknya yang mendaadk raib, duo kembar itupun setiap hari selalu mengalami masalah dengan mobil yang ditumpanginya. Yang bannya kemps kek, mogok kek, dan tetek bengek lainnya. Padahal sebelum berangkat, mereka telah memastikan jika mobilnya baik-baik saja. Bisakah disimpulkan jika mereka sedang diteror?

Untuk menghadapi duo krucil itu, diperlukan taktik yang halus. Jangan sampai mereka sadar, jika aku yang berada di balik peristiwa akhir-akhir ini.

Saya sih sudah bosan bersikap baik dengan mereka. Toh saya hanya ingin sedikit bermain saja. Apa salahnya?

Ayahnya saja tidak peduli dengan mereka, apalagi aku yang hanya ibu tiri mereka?

Biar tahu rasa say. Ini masih belum seberapa dibanding perbuatan ayah mereka pada saya. Mentang-mentang kaya, seenaknya saja beristri lebih dari dua!

Memei mengeram kesal. Kilasan suara sang ibu tiri menggema  di gendang telinganya, beruntung tengah malam ia terbangun, dan beranjak menuju dapur. Akhirnya ia mengetahui siapa di balik semua perlakuan jahil itu. Ia bahkan tak menyangka jika sang terdakwah adalah ibunya sendiri. Meskipun hanya sekedar ibu tiri, dirinya dan puput telah menganggapnya seperti ibu sendiri. Ah, dia harus memberitahu Puput secepatnya. Sebelum terlambat.

***
Bembi telah berfirasat jika anak tiri kembarnya telah tahu akan ulahnya selama ini. Entah mengapa pagi tadi Memei dan Puput menjaga jarak dengan dirinya. jika sudah seperti ini, dia tak perlu lagi bermain belakang. Terang-terangan saja sekalian. Bembi adalah wanita yang memiliki gengsi diatas rata-rata. Jadi pantang untuknya melakukan gencatan senjata. Terlebih hanya pada dua krucil bawang itu.

Hal pertama yang akan dilakukannya adalah: mengunci pintu depan agar Memei dan Puput tak bisa masuk ke dalam. Biarkan saja mereka tidur di luar dan digigit nyamuk semalaman. Who Is care?

Dengan segala taktik cerdiknya yang lebih licik dari taktik para politikus, Bembi menyuruh para pembantu dan satpam rumah untuk pulang sementara waktu. Dalih apa yang digunakan cukup meyakinkan. Jadi para pekerja itu, dengan senang hati pulang tanpa bertanya lebih dalam. Apalagi telah ada umpetidigenggam.

Hingga menjelang puluk delapan malam, Bembi tak merasakan kedatangan kedua putri tirinya, tak biasa-biasanya mereka pulang semalam ini. Entah mengapa ada rasa khawatir yang menyelusup kedalam hatinya. Bagaimanapun sejak kecil, dialah yang mengasuh Memei dan Puput. Secara tidak langsung, anak itu juga telah membuatnya tidak merasa kesepian. Seharusnya ia tak membenci si kembar hanya lantaran kecewa pada sang ayah. Brambang yang diam-diam menikah lagi tanpa sepengetahuannya.

Seharusnya ia introspeksi, bukan malah melampiaskan kekesalan pada si kembar. Bembi ingat faktor utama penyebab, Brambang tak pernah betah dengan kehidupan pernikahannya adalah faktor keturunan. Bembi tak dapat memberikan Brambang anak laki-laki yang selama ini diharapkan.
Tiba-tiba rumah menjadi gelap. Jantung Bembi berdetak sangat cepat. Sejak keci ia phobia terhadap kegelapan. Beruntung ia berada di ruang tamu utama, sehingga tak sulit baginya mencapai pintu tuk keluar mencari cahaya.

“Bumba kenapa?”

Pertanyaan penuh kekhawatiran itu membuat Bembi kembali bernafas normal. Tak perlu menunggu lama ia memeluk kedua putri tercinta. Beruntung Tuhan masih melindunginya. Tetapi rasa sesak itu kembali hadir ketika tanpa diduga Bembi menginga kembali kejahatannya apda mereka. Ia merasa menjadi seorang ibu yang sangat bodoh.

“Maafkan Bumba…” Isaknya diantara pelukan sang anak.

Memei dan Puput kompak berpandangan. Mereka tersenyum sambil menepuk pundak sang Bumba. “Bumba jangan nagis. Kami ngerti kok posisi Bumba. Atas nama ayah, kami minta maaf ya Bumba?”

Bembi tak dapat menyembunyikan rasa harunya, bagaimana mungkin ia menghianati anak semanis ini?

“Lagian kami yakin kok, Bumba kami itu namanya Bembi. Bukan bombai. Ia nggak Mei?” celetuk Puput, mengakhiri sesi pelukan dianata mereka. Mulanya keduanya tak mengerti, namun dua detik berselang loading otak mereka langsung sampai.

Bombai? Bawang bombai identik dengan kepalsuan. Seperti halanya orang menangis, yang kadang dikatakan nangis bombai. Sudah dibilang sejak awal bukan, jika mereka adalah keluarga metropolitan. Berbeda dengan kisah pilu dongeng jaman dulu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar