Adalah
SMA Kalang Kabut. Sekolah swasta yang hampir menyerupai angin ribut. Sampah
bertebaran ditemui di mana-mana, coretan tembok nyaris tak bersisa, bahkan jendela kaca banyak yang bolong akibat siswanya
yang menendang bola tak tahu arah. Saking bapernya hingga bola yang ditendang
melayang melewati gawang dan menembus jendela kaca.
Sungguh bukan salah sang penguasa
(Baca: Kepala sekolah) murid-muridnya saja yang kelewat luar biasa.
Sampai-sampai sepuluh orang pak kebun yang bekerja, nyaris kualahan tak
terkira. Akibat pola siswanya yang tergesa-gesa. Pantas saja setiap tahunnya,
SMA Kalang kabut selalu gagal mendapatkan piala kalpataru dari wali kota. Meskipun demikian, sekolah swasta itu tetaplah
istimewa. Menjadi sekolah favorit di jajaran kaum sosialita. Entah bagaimana
bisa, katanya sih meskipun terkenal bad
boys and bad girls, siswa-siswinya juga dianugerahi kepintaran yang diluar
logika.
Ibarat pepatah: Tak ada rotan akarpun jadi – sangatlah
cocok bagi mereka. Meskipun SMA Kalang Kabut tak pernah mendapatkan penghargaan
kalpataru dari wali kota, para siswanya tak pernah absen mendapat juara
olimpiade lintas benua. Apapun itu, dimulai dari olimpiade fisika hingga
festival seni budaya.
Perkenalkan...
The
Union’s Family. Adalah salah satu aset paling berharga
di SMA Kalang Kabut. Selain terdapat Brambang
- seorang saudagar kaya yang menjadi donatur terbesar, juga ada sepasang anak
kembar yang IQ-nya hampir melebihi presiden ketiga Indonesia. Puput dan Memei namanya. Tak ada yang tahu jika Puput dan Memei adalah
sepasang anak kembar. Selain karena wajahnya yang non identik. Brambang, sang ayah juga meminta
pihak sekolah tuk merahasiakan identitas putri-putrinya. Jika ditanya alasannya
mengapa, itu karena si kembar yang meminta. Sebagai ayah, Blambang menurut saja. Cukuplah ia
disibukkan dengan perusahaan kapalnya yang besar tak terkira.
***
Siang itu matahari bertengger tepat di atas gedung
SMA Kalang Kabut. Para siswa pada bersembunyi di dalam ruangan yang dipenuhi
oleh suhu AC. Lapangan futsal, basket, dan sepak bola kosong melompong seketika. Mungkin para siswa bandel
itu takut kulit mulusnya habis terbakar sang surya. Dimenit yang sama. Terlihat sebuah mini cooper merah memasuki area parkiran
dengan sempurna. Sejurus kemudian, turun seorang gadis cantik berambut sebahu
dengan tas yang dicangklongkan. Ia barusaja pulang menghadiri seminar motivasi
di sekolah seberang.
Tak lama kemudian, sebuah lamborghini putih menyusul parkir di sebelahnya. Kemudian turun
pula seorang gadis cantik dengan tas ransel di pundaknya. Mereka berdua hanya
menatap sekilas, kemudian saling berlalu tanpa bertegur sapa.
***
“Woi, Nino! Satu tambah satu sama
dengan berapa?”
“Ya dua, bego! Gitu aja nggak tau.
Balik ke SD sono!”
“Salah dodol. Enak aja lo nyuruh gue
balik SD. Tanya aja sama bebeb gue satu tambah satu sama dengan berapa!”
Si Nino mengernyit jijik. Ia ingin
sekali menjitak teman sebangkunya itu. Namanya sebastian. Satu kelas kompak
mengolokinya “sebatas teman tanpa kepastian”. Bukan apa-apa, pasalnya sejak
awal dia masuk di SMA Kalang Kabut, hingga kini duduk di kelas XII. Aksi
pedekatenya tak pernah berjalan mulus. Si Puput hanya menganggapnya sebatas
teman.
Cewek berkulit putih itu selalu cuek
kepada setiap cowok yang mendekatinya. Bukan lantaran tidak pede karena
dianugerahi kulit yang kelewat
putih seperti orang penderita albino, hanya saja cewek cantik itu masih
memiliki segudang mimpi. Ia Ingin menciptakan roket pribadi dan mengajak
seluruh keluarganya ke bulan, tuk menancapkan bendera ber-icon bawang di planet
hampa udara tersebut.
Alasannya adalah, agar keluarga
bawang tak hanya dikenal oleh penduduk
mancanegara, tetapi juga dikenal oleh alien yang menetap di luar
angkasa. Tentu saja berpacaran, tidak termasuk dalam list hidupnya. Kecuali
menikah suatu hari nanti.
“Bebeb? Bebeb, mana bebeb?” Nino
meletakkan tangannya di atas alis, berdiri sambil celingak-celinguk ke kiri dan
kanan. Bastian yang kesal, sontak meninju lengan temannya. “Adoowwww, sakit
bego!” rintih Nino kemudian.
“Nggak usah lebay deh. Jijik gue.”
Sunggut Sebastian kesal.
“Woy, kebalik kelesssss.” Sunggut
Nino tak terima. Seisi kelas mana peduli dengan pertengkaran duo ubur-ubur itu.
Mereka semakin asik dengan dunia kecil di genggaman tangannya. Sungguh secara
tidak langsung, media maya kini mampu menciptakan peradaban tersendiri bagi
penikmatnya.
Tak lama berselang, pintu kelas XII IPA 1 terkuak lebar. Gadis yang
menjadi objek pembicaraan muncul dengan senyum mengembang. Ditariknya kursi di
deretan paling depan, bersiap untuk duduk sebentar. Namun naas tiba-tiba
datang. Afiqa gadis manis yang duduk di di belakangnya mendadak tertawa keras,
yang kemudian diikuti oleh seisi kelas. Ternyata tertawa juga bisa menular.
Dengan
responsive Puput memeriksa seluruh tubuhnya. mencari-cari apakah ada yang aneh
dengan penampilannya. Kernyitan dahi Puput semakin dalam tatkala tak menemukan
hal aneh dengan penampilannya. Lalu kenapa semuanya pada tertawa keras?
“Yaampun
bebeb. Are you ok? kalau pendarahan
nggak usah masuk beb.” Sebastian satu-satunya teman sekelasnya yang tak ikutan
tertawa. Wajah panik sangat kentara ia tampakkan. Setelah berhasil mencapai
bangku Puput. Nino langsung menyampirkan jaketnya di pinggang kekasihnya.
Ralat, kekasih tak sampai.
“Dasar
sebatas teman tanpa kepastian somplak. Si Puput bukan perdarahan woi!” teriak
Nino dari bangkunya.
Tanpa
bertanya lebih jauh lagi, Puput langsung mengerti apa yang terjadi. Sejurus
kemudian ia melesat menuju kamar mandi. Memastikan kebenaran ucapan Sebastian
dan Nino. Dan jika memang benar, tenggelamkan saja Puput ke rawa-rawa. Pantas
saja selama kegiatan seminar berlangsung, beberapa peserta yang melihatnya
mesam-mesem nggak jelas. Puput fikir itu adalah bentuk kesopanan. Uh,
memikirkan itu membuat kulit putih Puput serasa terbakar.
***
Lain
gubuk, lain pula ilalang. Di ruang XII IPS, Memei disambut dengan tangan
terbuka. Tepukan riuh, menggema hingga koridor paling ujung. Memei bukan hanya
bintang kelas bagi mereka, ia juga satu-satunya siswi yang unik. Bagaimana
tidak, seluruh kulit Memei bewarna putih kemerahan. Jika pada daun, sudah
sangat jelas daun tersebut tak berklorofil. Meskipun demikian keanehan itu tak
membuat Memei dikucilkan, ataupun ditindak diskriminatif. Justru teman-temannya
menjadikannya princess yang special.
“Mei,
gimana tadi acaranya? Seru tidak?”
“Memei,
satu jam tampa kamu berasa satu abad tau nggak. Duh lain kali kalau mau ikutan
seminar, diluar jam pelajaran aja deh. Nggak ada lo nggak rame tau ngga.”
Memei
tertawa puas. Tak lupa ia mengeluarkan batangan coklat dari dalam tasnya,
kemudian membagikan terhadap seisi kelas. “Bilang aja kalian nggak dapat
contekan.” Cibir Memei setengah tergelak. Seluruh
kelas yang tengah berebut coklat pun juga tergelak. Begitulah Memei,
kehadirannya selalu dirindukan. Tiba-tiba
penglihatannya tertuju pada bolongan yang berada di jendela bagian samping
kanan. “Kali ini siapa nih yang kebawa perasaan?”
Tak
ada sahutan. Ketika menoleh ke belakang, seluruh temannya masih berkumpul
berebut coklat. Seharusnya tadi Memei membaginya dulu. Biar tidak anarkis
seperti itu.
Aaaaaaaaa…..
Kalista
berteriak heboh. Ia melihat seekor tikus gendut keluar dari tas cangklong
Memei. Tak menunggu satu menit, kelas itu berubah menjadi ricuh. Para gadis
segera melompat ke atas bangku. Memandang jijik pada tikus gendut yang ditaksir
baru saja keluar dari got itu. Siswa cowok lainnya malah lebih memilih
mengambil kesempatan dalam kesempatan.
Belum
juga Memei ngeh dengan perubahan drastis, beberapa siswi banyak yang keluar
kelas memuntahkan cokelat yang baru digigitnya secuil. Bukan keracunan. Hanya
saja mereka merasa jijik mengingat coklat itu berada di dalam tas yang sama
dengan tikus. Dan mulai detik ini juga, pandangan seisi kelas terhadap Memei
langsung berbeda.
***
Tak
perlu bel pulang sekolah berbunyi, Memei dan Puput langsung meninggalkan
sekolah tanja ijin. Bersama kendaraan masing-masing, mereka menuju sebuah
tempat yang disebut markas. Tempat
itu berada di atas pohon. Sebuah rumah pohon unik yang berbentuk bawang.
Mengapa bawang? Karena di keluarga mereka memang identic dengan bawang. Hei
bahkan nama sepasang anak kembar itu tak luput dari kata bawang.
Bawang
Putih yang dipanggil Puput, dan Bawang Merah yang dipanggil Memei. Mirip sebuah
kisah dongeng memang, namun bisa dipastikan kisah mereka tak akan sama dengan
dongeng kejahatan ibu tiri itu. Keluarga mereka hidup di jaman mellenium, dan
tinggal di kota Metropolitan. Dan meskipun mereka mempunyai ibu tiri yang
dipanggil Bumba, mereka yakin ibu tiri mereka buakan tipekal wanita kolot yang
haus akan harga Brambang.
“Jadi
gimana mungkin di rok kamu bisa ada noda
merah seperti darah?” Memei memulai percakapan. Ia menatap adik lima menitnya
tanpa kedip.
Puput
menghela nafas jengah. Kalau dia tahu, ngapain juga ngajak ketemuan. Tentu
sekarang Puput lebih memilih menemui orang yang mengerjainya, dan memberinya
pelajaran. Hitung-hitung biar kapok tuh orang. “Menurut kamu?”
“Makanya
jangan terlalu cuek jadi orang. Punya musuh kan jadinya.”
“Dasar
sotoy, siapa juga yang punya musuh.” Desis Puput tak terima. Ia bergeming
dengan posisinya yang tidur tengkurap berbantalkan bantal bawang bertuliskan
namanya. Sedang Memei tak terpengaruh dengan desisan Puput. Ia masih serius
mengobservasi noda merah yang masih menempel tepat di rok Puput bagian
belakang.
“Lalu
ini apa?”
“Kena
saos kali.” Jawab puput ogah-ogahan.
Gantian
Memei yang mendengus. “Kok bisa sih otak dong-dong kaya kamu menang olimpiade
fisika? Jelas-jelas noda sulit dihilangkan gini, dibilang saos. Ini tuh
bener-bener mirip darah dodol. Pasti semacam cat yang dicampur dengan apa
gitu.”
“Kamu
juga jangan sok tau.” Puput menegakkan tubuhnya, dan mengambil air minum yang
selalu disediakannya di pojok ruangan. Menegak isinya sedikit, kemudian
melanjutkan ucapannya. “Jangan sembarangan nuduh juga. nanti jadinya fitnah.”
Memei
terdiam, mencerna ucapan dari sebagian dirinya. “Kamu
sendiri, gimana bisa sampai ada tikus di dalam tas? Kamu nggak mendadak punya
hobby mengoleksi tikus kan?” Selidik Puput.
“Kurang
kerjaan banget ngumpulin tikus. Tikus got lagi.” Memei pun bergidik jijik.
Puput terkekeh pelan. Lumayan menghibur diri sendiri.
“Jadi
siapa ya?” Gumam mereka bersamaan. Dasar bawang kembar.
***
Detik berganti
menit, menit pun beganti jam dan
demikian seterusnya. Seminggu telah berlalu semenjak insiden konyol itu. Dan
selama seminggu ini mereka tak menemukan petunjuk apapaun. Yang ada setiap
harinya mereka selalu tertimpa kesialan yang bertubi-tubi. Caranya pun juga
sama tak wajarnya dengan insiden tempo hari.
Selain buku
cetaknya yang mendaadk raib, duo kembar itupun setiap hari selalu mengalami
masalah dengan mobil yang ditumpanginya. Yang bannya kemps kek, mogok kek, dan
tetek bengek lainnya. Padahal sebelum berangkat, mereka telah memastikan jika
mobilnya baik-baik saja. Bisakah disimpulkan jika mereka sedang diteror?
Untuk menghadapi duo krucil itu, diperlukan taktik
yang halus. Jangan sampai mereka sadar, jika aku yang berada di balik peristiwa
akhir-akhir ini.
Saya sih sudah bosan bersikap baik dengan mereka. Toh
saya hanya ingin sedikit bermain saja. Apa salahnya?
Ayahnya saja tidak peduli dengan mereka, apalagi aku
yang hanya ibu tiri mereka?
Biar tahu rasa say. Ini masih belum seberapa dibanding
perbuatan ayah mereka pada saya. Mentang-mentang kaya, seenaknya saja beristri
lebih dari dua!
Memei mengeram
kesal. Kilasan suara sang ibu tiri menggema
di gendang telinganya, beruntung tengah malam ia terbangun, dan beranjak
menuju dapur. Akhirnya ia mengetahui siapa di balik semua perlakuan jahil itu.
Ia bahkan tak menyangka jika sang terdakwah adalah ibunya sendiri. Meskipun
hanya sekedar ibu tiri, dirinya dan puput telah menganggapnya seperti ibu
sendiri. Ah, dia harus memberitahu Puput secepatnya. Sebelum terlambat.
***
Bembi telah
berfirasat jika anak tiri kembarnya telah tahu akan ulahnya selama ini. Entah
mengapa pagi tadi Memei dan Puput menjaga jarak dengan dirinya. jika sudah
seperti ini, dia tak perlu lagi bermain belakang. Terang-terangan saja
sekalian. Bembi adalah wanita yang memiliki gengsi diatas rata-rata. Jadi
pantang untuknya melakukan gencatan senjata. Terlebih hanya pada dua krucil
bawang itu.
Hal pertama yang
akan dilakukannya adalah: mengunci pintu depan agar Memei dan Puput tak bisa
masuk ke dalam. Biarkan saja mereka tidur di luar dan digigit nyamuk semalaman.
Who Is care?
Dengan segala
taktik cerdiknya yang lebih licik dari taktik para politikus, Bembi menyuruh
para pembantu dan satpam rumah untuk pulang sementara waktu. Dalih apa yang
digunakan cukup meyakinkan. Jadi para pekerja itu, dengan senang hati pulang
tanpa bertanya lebih dalam. Apalagi telah ada umpetidigenggam.
Hingga menjelang
puluk delapan malam, Bembi tak merasakan kedatangan kedua putri tirinya, tak
biasa-biasanya mereka pulang semalam ini. Entah mengapa ada rasa khawatir yang
menyelusup kedalam hatinya. Bagaimanapun sejak kecil, dialah yang mengasuh
Memei dan Puput. Secara tidak langsung, anak itu juga telah membuatnya tidak
merasa kesepian. Seharusnya ia tak membenci si kembar hanya lantaran kecewa
pada sang ayah. Brambang yang diam-diam menikah lagi tanpa sepengetahuannya.
Seharusnya ia
introspeksi, bukan malah melampiaskan kekesalan pada si kembar. Bembi ingat
faktor utama penyebab, Brambang tak pernah betah dengan kehidupan pernikahannya
adalah faktor keturunan. Bembi tak dapat memberikan Brambang anak laki-laki
yang selama ini diharapkan.
Tiba-tiba rumah
menjadi gelap. Jantung Bembi berdetak sangat cepat. Sejak keci ia phobia
terhadap kegelapan. Beruntung ia berada di ruang tamu utama, sehingga tak sulit
baginya mencapai pintu tuk keluar mencari cahaya.
“Bumba kenapa?”
Pertanyaan penuh
kekhawatiran itu membuat Bembi kembali bernafas normal. Tak perlu menunggu lama
ia memeluk kedua putri tercinta. Beruntung Tuhan masih melindunginya. Tetapi
rasa sesak itu kembali hadir ketika tanpa diduga Bembi menginga kembali
kejahatannya apda mereka. Ia merasa menjadi seorang ibu yang sangat bodoh.
“Maafkan Bumba…”
Isaknya diantara pelukan sang anak.
Memei dan Puput
kompak berpandangan. Mereka tersenyum sambil menepuk pundak sang Bumba. “Bumba
jangan nagis. Kami ngerti kok posisi Bumba. Atas nama ayah, kami minta maaf ya
Bumba?”
Bembi tak dapat
menyembunyikan rasa harunya, bagaimana mungkin ia menghianati anak semanis ini?
“Lagian kami
yakin kok, Bumba kami itu namanya Bembi. Bukan bombai. Ia nggak Mei?” celetuk
Puput, mengakhiri sesi pelukan dianata mereka. Mulanya keduanya tak mengerti,
namun dua detik berselang loading otak mereka langsung sampai.
Bombai? Bawang bombai identik dengan kepalsuan. Seperti halanya orang menangis,
yang kadang dikatakan nangis bombai. Sudah dibilang sejak awal bukan, jika
mereka adalah keluarga metropolitan. Berbeda dengan kisah pilu dongeng jaman
dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar