Sebenarnya
tujuan hidup itu yang bagaimana sih? Menikah? Atau punya pekerjaan mapan?
Dulu, saat saya masih duduk di sekolah menengah kejuruan, guru kajian saya mengatakan, jika sejatinya kita hidup di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, karena pada akhirnya pula kita akan kembali pada-Nya (baca; kematian). Jadi dapat saya tarik kesimpulan kalau life goals kita sebenarnya adalah akhirat, right?
Dulu, saat saya masih duduk di sekolah menengah kejuruan, guru kajian saya mengatakan, jika sejatinya kita hidup di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, karena pada akhirnya pula kita akan kembali pada-Nya (baca; kematian). Jadi dapat saya tarik kesimpulan kalau life goals kita sebenarnya adalah akhirat, right?
Saya
menulis ini bukan untuk apa-apa. Bukan untuk menggurui atau apalah istilah
lainnya. Saya hanya ingin memiliki jejak terhadap rasa yang saya alami semasa
melakukan pencarian jati diri. Saya hanya ingin menyampaikan keresahan yang
terus-menerus menggerus di hati.
Kembali
ke topik utama. Kesimpulan atas life goals ternyata sesederhana itu loh,
tapi pengaplikasian terhadap kehidupan sehari-hari mengapa menjadi ribet
sekali? Apa mungkin karena manusianya, ya?
Okey,
semoga kata-kata saya tentang manusia tadi tidak dianggap sebagai tindakan mengeneralisasikan
semua makhluk bernama manusia di muka bumi. Karena sebenarnya manusia itu
memiliki sikap dan sifat yang berbeda-beda dan terdapat keunikan sendiri di
setiap sisinya.
Hanya
saja di tempat di mana saya tinggal, lingkungan manusianya memiliki ritme
kehidupan yang sama. Lahir – tumbuh kembang – sekolah – kerja – menikah punya keterunan – meninggal. Meskipun pada
akhirnya step yang dilalui ternyata berbeda, tetapi sama aja proses di atas
sudah seperti patokan yang harus dijalani oleh sitiap individu. Jika ada satu
saja yang tertiggal, pasti berujung cacian.
Saya
berikan contoh sederhana; seorang anak yang sudah cukup usia, kemudian
orangtuanya tidak menyekolahkan, pasti jadi cemoohan. Seseorang yang sudah
lulus dari akademi pendidikan kemudian tidak mendapat pekerjaan yang mapan
sesuai bidangnya, pasti mendapat cibiran (seolah-olah anak tersebut merupakan
sampah masyarakat) dijadikan contoh akan kegagalan institusi pendidikan. I
mean, mereka pasti berkata “si anu loh udah sekolah tinggi-tinggi, tapi
akhirnya nggak keja juga. Jadi buat apa sekolah sampai tinggi-tinggi,
menghabiskan uang saja”. Bagi
sebagian orang, pikiran seperti itu mungkin dianggap cetek/sempit, tetapi
percayalah di lingkungan yang jauh dari perkotaan dan modernitas hal tersebut
sudah lumrah.
Kemudian
ada yang sukses secara materi dan pekerjaan, tapi dia belum juga mendapat
jodoh, orang-orang akan mencibirnya tidak laku. Hey, apakah tidak sekolah,
tidak bekerja dan mendapat jodohnya terlambat itu adalah sebuah pelanggaran
norma sosial? Kenapa harus dijaikan issue menjijikkan di belakang orang yang
bersangkutan? Kenapa manusia itu tidak cukup hanya dengan mengurusi hidupnya
sendiri saja, kenapa hidup orang lain juga kemudian menjadi urusannya?
Lalu
saya kemudian kembali menarik kesimpulan jika life goals adalah; dilahirkan
- tumbuh kembang – sekolah/mengenyam pendidikan, punya pekerjaan mapan –
menikah – memiliki keturunan – meninggal. Right?
Hahaha,
tentu saja tidak. Life goals kita tetap adalah pencapaian untuk akhirat alias
beribadah kepada Allah dan menjadi makhluk-Nya yang mulia. Sistem kehidupan
bermasyarakatnya saja yang menjadikan kita bertindak sesuai pakem. Seolah-oleh
siklus tadi di atas adalah peraturan tak tertulis yang harus dijalankan oleh
setiap manusia.
So,
bagaimana tentang life goals menurut kalian? Mohon maaf karena struktur
kalimatnya tidak runtut dan pembahasan versi saya melebar ke mana-mana. Kembali
lagi saya tekankan, jika apa yang saya tulis adalah belum tentu kebenaran. Bisa
jadi pula, beberapa waktu ke depan pikiran saya mulai berubah dan tulisan tadi
menjadi tidak relavan. Who know?
Note; opini ini merupakan
unek-unek bagi individu yang dikucilkan dari lingkungan sosial karena tidak
mengikuti pakem yang ada di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar