“Jadi kamu nangis hanya karena bingung mau ngajak siapa ke
acara resepsi pernikahan teman kamu Cha?” tanya Inge pada Acha yang kini tengah
menyesap teh manis buatannya. Inge
meletakkan kado yang dipesan Acha di atas meja kemudian menatap Icha tajam.
“Sejak kapan sih Cha kamu jadi mellow gini ?”
tambahnya.
“Sejak semua orang menganggap belum menikah di usia 23 tahun
itu adalah dosa besar.” jawab Acha dengan sedikit penekanan pada nada suaranya.
Inge menautkan kedua alisnya heran. Umur boleh 23 tahun,
tapi sikap Acha menunjukkan sebaliknya.
“Teman SD Acha sudah punya anak dua mbak, teman SMP Acha
apalagi, dan besok teman SMA Acha juga mau nyusul. Acha bosen selalu ditanya
Acha kapan nyusul? Lalu buk lek Acha selalu berkata gini,” Ada jeda sebentar
sebelum Acha melanjutkan kalimatnya. “wah Acha dapat undangan lagi, terus
nyebar undangan sendiri kapan Cha?” kata Acha menirukan aksen suara buk lek.
Hampir saja Inge meyemburkan tawanya jika tidak melihat aura
sendu diwajah Acha. Inge berdehem pelan kemudian menepuk pundak acha. “Itu
karena kamu tinggalnya di lingkungan yang masih berfikir Primitif. Yang
memandang umur 17 tahun sudah pantas dan siap untuk dinikahkan.” Inge benar,
Acha memang tinggal di pinggiran kota di mana rata–rata masyarakatnya
berpendidikan rendah.
“Justru kamu harus bangga Cha, kamu termasuk gadis yang independent. Tidak berfikiran sempit.” Sambung
Inge lagi.
“Sayangnya pemikiran mereka nggak seperti mbak Inge. Dari
dulu Acha selalu berusaha untuk menjadi siswi yang berprestasi di sekolah mbak,
nggak pernah sedikit pun terlintas difikiran Acha untuk pacaran seperti teman
yang lain. Acha memang introvert pada
lingkungan luar. Karena Acha selalu mengingat ibu yang setiap malam menangis
jika tidak punya uang untuk bayar sekolah Acha. Acha bertekat untuk mengubah
status ekonomi keluarga Acha. Acha nggak mau orang tua Acha dipandang sebelah
mata oleh tetangga Acha yang sok berstrata social
tinggi itu.” Air mata kini memenuhi pelupuk mata acha, melihat itu membuat
Inge terenyuh. Ia memeluk Acha yang mulai sesenggukan.
“Dan sekarang ... Acha sudah berhasil mbak. Acha bisa kuliah
dengan beasiswa. Bisa kerja di kantoran juga. Namun mereka tetap memandang
sebelah mata Acha karena acha belum laku juga.”
“Ssttt ... Tenangkan
hati kamu Cha. Dengar mbak, jika kita berusaha sempurna di mata sesama itu tak kan
ada gunanya Cha. Karena pada akhirnya mereka akan mencari kelemahan kita untuk
menjatuhkan kita Cha. Ingat Cha, jika manusia juga memiliki rasa iri. Mereka
tak akan tinggal diam jika melihat ada tetangga yang lebih dari dirinya. Maka
dari itu ada baiknya jika kita mengejar kesempurnaan di hadapan Allah saja.
Sang pemilik kehidupan. Biarlah orang lain berkata apa, sejatinya manusia tidak
ada yang sempurna.”
Acha hanya terdiam merenungi setiap perkataan Inge. Pintu
hatinya seolah terketuk. Seharusnya ia tidak terhasut oleh perkataan mereka
yang tidak mengerti apa–apa akan hidupnya.
“Dan lagi kamu itu cantik Cha, cerdas, juga sholihah
Insyaallah. Mereka bukannya tidak ada yang melirik kamu Cha. Hanya saja mereka
minder mungkin untuk mempersunting gadis sesempurna kamu.”
Acha pun tergelak mendengar pujian berlebihan dari Inge. “Sempurna?
sempurna itu hanya milik Allah kali mbak.”
“Coba deh kamu fikir, di daerah tempat kamu tinggal aja bisa
dihitung dengan jari yang berpendidikan setara dengan kamu Cha. Mereka yang
hanya lulusan SMA pasti malu lah menyunting gadis yang lulusan sarjana, nanti
jatuhnya kalau ngomong nggak nyambung.” ucap Inge sambil mengedipkan sebelah
matanya pada Acha.
“Yang boleh membedakan status hanya Allah mbak. Kita tidak
berhak menggolong–golongkan status seperti itu. Lagian yah yang bisa membuat
pesawat seperti Habibie saja belum tentu bisa membuat nasi pecel seenak buatan
para pedagang di pinggir jalan itu. Jadi, manusia itu cerdas menurut porsi dan
takaran masing–masing.”
“Kenapa nggak dari tadi aja sih Cha kamu berfikir seperti
itu. Terkadang mbak heran, ada ya sarjana labil seperti kamu.” ucap Inge
menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.
“Satu lagi Cha. Pria yang baik diciptakan hanya untuk wanita
yang baik pula. Jadi jangan khawatir yah, pilihan Allah tidak ada yang bisa
meragukan.” sambung Inge kemudian
“Maksud mbak Inge?”
“Tadi kamu sendiri kan yang bilang, kalau kamu belum pernah
pacaran. Insyaallah nantinya jodoh yang datang itu benar–benar pilihan Allah.
Karena tanpa proses pacaran sebelumnya.”
“Amin … “ Acha juga
berucap dalam hati.
“Jodoh itu bukan dia yang cepat dapat, namun dia yang
tepat.” kata Inge mengakhiri pebicaraan mereka siang itu.
***
Versi lengkapnya dapat dibaca di sini, tenang saja gratis kok. :^^
assalamualaikum mbak, salam kenal. saya pengen ngobrol masalah dunia penulisan, tapi kayaknya harus lebih privasi, nggak enak kalau disini. bisa minta alamat emailnya mbak?
BalasHapusWaalaikumsalam mas Andy. Ia salam kenal juga ya ...
HapusBoleh. sarifa.selalu@gmail.com
terimakasih sebelumnya sudah berkenan mampir di lapak saya :-)