Kamis, 19 Mei 2016

Akhirnya Cinta


“Jadi kamu nangis hanya karena bingung mau ngajak siapa ke acara resepsi pernikahan teman kamu Cha?” tanya Inge pada Acha yang kini tengah menyesap teh  manis buatannya. Inge meletakkan kado yang dipesan Acha di atas meja kemudian menatap Icha tajam. “Sejak kapan sih Cha kamu jadi mellow gini ?”  tambahnya.
“Sejak semua orang menganggap belum menikah di usia 23 tahun itu adalah dosa besar.” jawab Acha dengan sedikit penekanan pada nada suaranya.



Inge menautkan kedua alisnya heran. Umur boleh 23 tahun, tapi sikap Acha menunjukkan sebaliknya.
“Teman SD Acha sudah punya anak dua mbak, teman SMP Acha apalagi, dan besok teman SMA Acha juga mau nyusul. Acha bosen selalu ditanya Acha kapan nyusul? Lalu buk lek Acha selalu berkata gini,” Ada jeda sebentar sebelum Acha melanjutkan kalimatnya. “wah Acha dapat undangan lagi, terus nyebar undangan sendiri kapan Cha?” kata Acha menirukan aksen suara buk lek.
Hampir saja Inge meyemburkan tawanya jika tidak melihat aura sendu diwajah Acha. Inge berdehem pelan kemudian menepuk pundak acha. “Itu karena kamu tinggalnya di lingkungan yang masih berfikir Primitif. Yang memandang umur 17 tahun sudah pantas dan siap untuk dinikahkan.” Inge benar, Acha memang tinggal di pinggiran kota di mana rata–rata masyarakatnya berpendidikan rendah.
“Justru kamu harus bangga Cha, kamu termasuk gadis yang independent. Tidak berfikiran sempit.” Sambung Inge lagi.
“Sayangnya pemikiran mereka nggak seperti mbak Inge. Dari dulu Acha selalu berusaha untuk menjadi siswi yang berprestasi di sekolah mbak, nggak pernah sedikit pun terlintas difikiran Acha untuk pacaran seperti teman yang lain. Acha memang introvert pada lingkungan luar. Karena Acha selalu mengingat ibu yang setiap malam menangis jika tidak punya uang untuk bayar sekolah Acha. Acha bertekat untuk mengubah status ekonomi keluarga Acha. Acha nggak mau orang tua Acha dipandang sebelah mata oleh tetangga Acha yang sok berstrata social tinggi itu.” Air mata kini memenuhi pelupuk mata acha, melihat itu membuat Inge terenyuh. Ia memeluk Acha yang mulai sesenggukan.
“Dan sekarang ... Acha sudah berhasil mbak. Acha bisa kuliah dengan beasiswa. Bisa kerja di kantoran juga. Namun mereka tetap memandang sebelah mata Acha karena acha belum laku juga.”
Ssttt ... Tenangkan hati kamu Cha. Dengar mbak, jika kita berusaha sempurna di mata sesama itu tak kan ada gunanya Cha. Karena pada akhirnya mereka akan mencari kelemahan kita untuk menjatuhkan kita Cha. Ingat Cha, jika manusia juga memiliki rasa iri. Mereka tak akan tinggal diam jika melihat ada tetangga yang lebih dari dirinya. Maka dari itu ada baiknya jika kita mengejar kesempurnaan di hadapan Allah saja. Sang pemilik kehidupan. Biarlah orang lain berkata apa, sejatinya manusia tidak ada yang sempurna.”
Acha hanya terdiam merenungi setiap perkataan Inge. Pintu hatinya seolah terketuk. Seharusnya ia tidak terhasut oleh perkataan mereka yang tidak mengerti apa–apa akan hidupnya.
“Dan lagi kamu itu cantik Cha, cerdas, juga sholihah Insyaallah. Mereka bukannya tidak ada yang melirik kamu Cha. Hanya saja mereka minder mungkin untuk mempersunting gadis sesempurna kamu.”
Acha pun tergelak mendengar pujian berlebihan dari Inge. “Sempurna? sempurna itu hanya milik Allah kali mbak.”
“Coba deh kamu fikir, di daerah tempat kamu tinggal aja bisa dihitung dengan jari yang berpendidikan setara dengan kamu Cha. Mereka yang hanya lulusan SMA pasti malu lah menyunting gadis yang lulusan sarjana, nanti jatuhnya kalau ngomong nggak nyambung.” ucap Inge sambil mengedipkan sebelah matanya pada Acha.
“Yang boleh membedakan status hanya Allah mbak. Kita tidak berhak menggolong–golongkan status seperti itu. Lagian yah yang bisa membuat pesawat seperti Habibie saja belum tentu bisa membuat nasi pecel seenak buatan para pedagang di pinggir jalan itu. Jadi, manusia itu cerdas menurut porsi dan takaran masing–masing.”
“Kenapa nggak dari tadi aja sih Cha kamu berfikir seperti itu. Terkadang mbak heran, ada ya sarjana labil seperti kamu.” ucap Inge menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.
“Satu lagi Cha. Pria yang baik diciptakan hanya untuk wanita yang baik pula. Jadi jangan khawatir yah, pilihan Allah tidak ada yang bisa meragukan.” sambung Inge kemudian
“Maksud mbak Inge?”
“Tadi kamu sendiri kan yang bilang, kalau kamu belum pernah pacaran. Insyaallah nantinya jodoh yang datang itu benar–benar pilihan Allah. Karena tanpa proses pacaran sebelumnya.”
“Amin … “  Acha juga berucap dalam hati.


“Jodoh itu bukan dia yang cepat dapat, namun dia yang tepat.” kata Inge mengakhiri pebicaraan mereka siang itu.

***

Versi lengkapnya dapat dibaca di sini, tenang saja gratis kok. :^^ 






2 komentar:

  1. assalamualaikum mbak, salam kenal. saya pengen ngobrol masalah dunia penulisan, tapi kayaknya harus lebih privasi, nggak enak kalau disini. bisa minta alamat emailnya mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam mas Andy. Ia salam kenal juga ya ...
      Boleh. sarifa.selalu@gmail.com

      terimakasih sebelumnya sudah berkenan mampir di lapak saya :-)

      Hapus