Sabtu, 24 September 2016

Baper Nikah, Yuk Kita Ngaca!



          Sebenarnya bingung mau nulis apa. Udah guling-guling di tempat tidur habis sholat shubuh jam lima pagi tadi. Masih juga belum nemu inspirasi. *malah curcol
            Tiba-tiba indra penglihatan menangkap kertas cantik berwarna pink yang berhiaskan ornamen pengantin. Yupp, undangan nikah. Dengan responsif, hati kecil langsung bertanya: Temanmu udah banyak yang nikah loh, giliranmu kapan? Masa didatengi undangan melulu, nyebarnya kapan? Hufftt... niatnya ingin nutup telinga rapat-rapat. Tetapi susah, tetap saja dengar rengekan si hati kecil tersebut.
Kali ini otak ikutan rese’. Tiba-tiba dia ingat percakapan teman-teman di kampus tadi. Dan masih seputar jodoh dan menikah. Dududu ... Berhubung yang cuap-cuap itu sudah pada punya pasangan untuk dibawa ke pelaminan, langsung deh saya  milih ngacirrrr. *Balada seorang jomblo. Tetapi jomblo berkualitas. Karena nunggu yang halal :p *Eaaa, alibiiii 
Penat rasanya mikirin nikah, dan nikah. Kembali kubuka layar 4,5 inc yang dua tahun ini menamani. Membuka aplikasi whatsapp dan membaca chat-chat yang baru masuk. Dannn ... isinya tak jauh berbeda kawan. Sekarang si mata juga mulai terkontamisi akibat isi chat ngomongin nikah semua. Baper lagi. Baper lagi ...           

Jika di flashback ke belakang, sebenarnya dulu saya ini nggak baper-baper amat. Hanya saja karena ada beberapa teman yang malah ngomongin kapan nikah mulu, jadi ikutan baper dan merasa tinggal satu-satunya wanita di dunia ini yang belum nikah. Padahal masih unyu-munyu gini, udah pusingin nikah. *Nah lohhhh. Topiknya jadi melebar kemana-mana. Padahal ide awalnya nggak gini. 
Menikah? 
Apa sih itu menikah?
Kenapa para cewek dan cowok bujang pada rempong jika berhubungan dengan kata ‘menikah’?
Bukankah 50.000 tahun sebelum seorang manusia diciptakan, Allah telah menuliskan takdirnya di lauhul mahfudz? 
Juga kenapa harus khawatir, jika sebenarnya manusia telah diciptakan berpasang-pasangan, seperti Adam dan Hawa?
Intinya, menikah itu bukan perkara yang mudah gens ... Menikah bukan hanya perihal dua kepala yang disatukan dengan ikrar suci bernama ijab qobul. Tetapi dengan menikah kita menyatukan dua keluarga besar yang berbeda budaya juga persepsi. Kita tidak hanya dituntut untuk  mengabdi pada suami, tetapi juga ada mertua dan keluarga besar suami yang belum tentu memiliki pola fikir yang sama dengan kita. Jadi banyak hal yang harus dipelajari di dalam pernikahan itu sendiri. Kita dituntut untuk belajar bertoleransi. Padahal toleransi itu nggak mudah loh. *Apalagi buat perempuan bebal macam saya. Ehhh
Lantas, sudah siapkah kita?
Jika kita seorang perempuan mandiri, yang terbiasa berangkat kuliah sendiri,  pulang hingga petang menjelang, kemudian dilanjut dengan ikut kajian - Apakah kita siap membagi perhatian kita untuk mengurus seorang suami? jika untuk mengurus diri sendiri saja masih banyak menyita perhatian?
Jika kita seorang perempuan yang masih berada dibawah ketiak orang tua, apakah mungkin bisa mengurus seorang suami? Bahkan untuk tidur saja, masih orang tua yang mengecek keadaan kamar. Jendela sudah terkunci rapat tidak, selimut kita sudah dipasang benar tidak, Atau, buku-buku yang baru selesai kita baca, sudah dikembalikan ke tempat semula belum? Nah, gimana kalau nikah nanti. *yang ini tamparan buat diri saya sendiri. 
Yuk, perbaiki diri. muhasabah diri. Baper boleh, asal membawa kita pada perubahan yang pasti. Jangan hanya baper, lalu sakit hati. Sedih karena jodoh yang tak kunjung pasti. Ingat genss jodoh itu cerminan diri. 
Ingin suami yang sholeh? 
Kembali instrospeksi diri. Apakah ibadah kita sudah bagus? Apakah hubungan kita dengan-Nya juga berjalan intensif? Jangan hanya berani menuntut, karena lelaki yang sholeh juga akan mengidamkan istri yang sholehah. 
Sebagaimana janji Allah. Wanita yang baik, untuk lelaki yang baik pula. Sedang wanita yang jahat untuk lelaki yang jahat pula. 
Nah, kita masuk kategori mana tuh?
Kalau kata ustadz Felix sih. Laki-laki itu terbagi kedalam 2 golongan. Yaitu:
1.      Lelaki sholeh, dan
2.      Lelaki jahat.
Sedang wanita dibagi kedalam tiga golongan.
1.      Wanita sholihah
2.      Wwanita biasa saja. (STMJ) Sholat terus, maksiat jalan.
3.      Wanita jahat. 
Jika kamu seorang wanita, sudah masuk kedalam kategori yang mana? Nah kalau wanita sholihah. Selamat, Insyaallah kalian mendapatkan lelaki yang sholeh pula. Masalahnya, bagaimana kalau kita masuk kedalam golongan kedua? *Ini tamparan buat saya sendiriii. Bisa jadi yang kita dapat malah lelaki yang jahat. Karena yang sholeh akan memilih yang sholehah. Kuncinya, Muhasabah diri. ngaca dulu, sudah pantaskah kita?
Cantoh lain lagi. Kita menginginkan suami yang berpendidikan alias berwawasan luas. Agar bisa bimbing kita yang rada nggak jelas pola fikirnya. 
Ingat, lelaki yang pandai butuh perempuan yang pandai pula untuk dijadikan partner diskusi. Dia sarjana ilmu komunikasi, kemudian mengajak kita berdiskusi kehidupan politik masa kini. Sedang kita nggak tau apa-apa tentang dunia politik. Lah, kan planga-plongo. Nggak enak. Proses komunikasinya hanya berlangsung satu arah. Padahal orang yang berbicara itu mengharapkan feedback loh. Beneran nih, coba aja kamu asik ngoceh tetapi lawan bicaramu nggak nanggapi. Kan sakitnya tuh disini *tunjuk dada lalu lap air mata. Lebay. Ini contoh kecilnya sih. 
Kalau gitu kita harus berpendidikan juga dong agar mengimbangi? Yup. Itu betul sekali. Ingat lagi. Perempuan adalah faktor terbesar dalam mencetak karakter anak nanti. Bahkan dokter pernah menyimpulkan, jika anak yang cerdas, terlahir dari ibu yang cerdas pula. Dibalik kesuksesan seorang anak, ada ibu yang hebat disana. Demikian pula kesuksesan seorang suami, ada sitri yang hebat disana. *nggak pake ada mantan yang menyesal loh ya! Wkwkwk
Pendidikan tinggi ya? Jadi ingat iklan kecantikan Lov***y. Nikah atau S2? Hayo pilih yang mana? Nikah itu sunnah Rosul loh, sementara S2?
Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika memang dirasa perlu, kenapa tidak? Tetapi imbangi pula dengan ilmu agamanya.  Niatkan, aku sekolah yang tinggi antuk mencetak anak yang baik untuk suami. Dari segi intelektual, juga budi pekerti. 
Jangan takut jodoh datang terlambat gens. Sejatinya jodoh itu bukan ia yang datang secara cepat, tetapi ia yang datang dalam waktu yang tepat. Jadi tidak ada kata jodoh datang terlambat.
Ayo pilih mana: nikah dini, tetapi cerai kemudian (Naudzubillah) amit-amt jabang bayi. Ehh, tetapi memang benar loh. Kebanyakan kan saat ini. Atau nikah dalam usia yang pas (Katakanlah 23 tahun) tetapi akan menjadi jodoh dunia, akhirat? Xoxoxoxo  
 Cusss, renungkannnn ... 
Jiahhhh... Maafkan jika sok tau. Hanya sedikit menghilangkan keresahan. 

*** 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar