Kala itu aula sebuah sekolah menengah pertama di ujung pelosok timur pulau jawa tengah mangadakan kegiatan sosialisasi
promosi. Tujuh orang kakak-kakak tampan dan cantik tengah mengeluarkan jurus
mautnya. Teknik persiasif kelas kakap agar para remaja cilik itu termakan oleh
segala bujuk rayuannya.
Dialah Nadia.
Gadis naif yang paling antusias mendengarkan bualan manis para sales promotion itu. Siapa yang tidak
tertarik jika dijanjikan untuk les gratis sepaket dengan snack kecil, teman
untuk belajar. Berkaca
dari teknik persuasif yang dilontarkan kakak-kakak tadi, Nadia pun menerapkan
kepada teman-temannya. Gadis paling kecil seantero kelas IX itu tak takut untuk
diabaikan. Lah bagaimana mau diabaikan, jika ialah siswi yang paling
berpengaruh di sekolah itu. Dicintai para guru, juga disenangi oleh hampir
seluruh warga sekolah. Sayangnya yang tak pernah Nadia tahu adalah, temannya
takut menolak karena khawatir tak dapat contekan ketika ujian menjelang.
Keesokan
harinya, Nadia dan kesepuluh temannya memutuskan untuk mengikuti les gratis yang ditawarkan oleh para kakak-kakak berjiwa sales promotion girls itu. berbekal uang pas-pasan mereka
bersebelas berangkat ke kota dengan
sebuah angkutan umum beroda empat.
Tak ada
aral melintang, mereka sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Tak perlu
menunggu lama, les segera dimulai. Sebongkah kekecewaan pun mulai tersemai. Tak
ada snack dan segala macam apapun yang dijanjikan. Malah jika mereka memutuskan
untuk tetap melanjutkan les, dikenakan biaya yang lumayan menguras kantong
orang tua. Yang namanya anak kecil, pastilah yang dilakukan adalah saling
menyalahkan. Pulang pun mereka dalam keadaan lunglai.
Untuk
kembali pulang, mereka harus menempuh perjalanan dengan dua kali pergantian
angkutan. Karena persediaan uang yang pas-pasan, jadilah mereka memilih tuk
jalan kaki hingga halte bus pertama yang kira-kira berjarak sejauh 2 KM dari
di mana kaki mereka kini berpijak.
Nadia pun yang dianggap paling pintar, dipersilahkan untuk memimpin perjalanan. Satu yang tidak diketahui kesepuluh temannya, jika gadis yang tengah dirundung perasaan bersalah itu tak hafal jalan pulang. Disamping kepintaran kognitif yang dia punya, Nadia adalah gadis kecil yang bodoh akan keadaan lingkungan sekitar. Ia pun hanya berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Untuk bertanya pun rasanya enggan. Karena yang Nadia rasa hanyalah kekecewaan yang menyesakkan.
Nadia pun yang dianggap paling pintar, dipersilahkan untuk memimpin perjalanan. Satu yang tidak diketahui kesepuluh temannya, jika gadis yang tengah dirundung perasaan bersalah itu tak hafal jalan pulang. Disamping kepintaran kognitif yang dia punya, Nadia adalah gadis kecil yang bodoh akan keadaan lingkungan sekitar. Ia pun hanya berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Untuk bertanya pun rasanya enggan. Karena yang Nadia rasa hanyalah kekecewaan yang menyesakkan.
Hingga
senja menjelang, awan terang tergantikan oleh jingga kemerahan, merekapun belum
sampai halte bus tempat tujuan. Sambil mengedarkan pandangan, mereka mendesah
secara bersamaan. Pantas saja tidak sampai-sampai, mereka berputar-putar di
tempat yang sama. Jalan yang dilalui tadi, kini kembali di lalui. Bagikan
tersesat dikedalaman hutan belantara.
“Zul,
you tanya kat orang gih. Dah gempor nih kaki.”
Fauzul yang mendengus tak selera ketika mendengar logat melayu Inge yang dibuat-buat. Effect tayangan upin-ipin sangat berpegangaruh terhadap pola tutur kata cewek berkacamata bulat itu.
Fauzul yang mendengus tak selera ketika mendengar logat melayu Inge yang dibuat-buat. Effect tayangan upin-ipin sangat berpegangaruh terhadap pola tutur kata cewek berkacamata bulat itu.
Masih
tak ada yang menyahut. Mereka sibuk mengelap peluh masing-masing. Meskipun tak
ada lagi cahaya mentari yang membakar kulit, tetap saja mereka kegerahan akibat
berjalan marathon yang tak tentu arah. Dibalik kecemasan sepuluh orang itu,
seorang gadis yang paling tinggi diantara mereka menyembunyikan senyum yang
tertahan.
“Nad,
sebenarnya tahu jalan pulang nggak sih? Kalau nggak tahu mending naik angkot
deh.”
“Uh,
sayang uangnya kali Kus. Kita dah jalan sejauh ini. bentar lagi pasti nyampe.
Dulu aku sama Rofiki lewatnya jalan sini. Tapi aku lupa setelah ini belok
kanan, apa kiri?”
Yang lain kembali mendesis bersamaan. Masalahnya rute untuk pulang, tidak sama dengan jalan yang dilalui tadi. dan jalanan di tengah kota ini mirip-mirip. Jika tidak jeli amat, pasti mudah tersesat.
Yang lain kembali mendesis bersamaan. Masalahnya rute untuk pulang, tidak sama dengan jalan yang dilalui tadi. dan jalanan di tengah kota ini mirip-mirip. Jika tidak jeli amat, pasti mudah tersesat.
“Aku tanya dulu deh.” Gagas Nadia kemudian. Ia melihat bapak tua penjual satu ayam di pedestrian seberang. Dengan berlari kecil, Nadia melangkah tanpa melihat kiri kanan. Teriakan temannya pun tidak ia dengar, hingga tiba-tiba ada tangan besar yang menarik tubuhnya, hingga terhempas kebelakang. Belum juga ia mengajukan protes, Fawaid teman laki-lakinya ke sebelah tubuhnya. Entah kekuatan darimana, Safira langsung berlari terbirit-birit menyebrang jalan sampai hampir ditikam kendaraan yang sedang berlalu lalang.
Yang lain juga berlari serabutan. Yang mereka fikirkan hanyalah terbebas dari anjing kelaparan yang hampir menggigit temannya. “Kamu budek ya Nad, yang lain dah teriak ada anjing, ada anjing – malah nggak dengarkan. Coba aja kalau nggak cepet ditarik, digigit deh kamu.”
Nadia masih sesenggukan. Ia mana peduli dengan bentakan Fawaid. Tangannya mencengkram kuat lengan Fawaid yang berwarna hitam. Tak lama yang lainpun muncul dengan muka tak kalah ketakutan.
“Nadia ni. Liat–liat kalau mau lewat. Coba kalau tadi anjingnya berhasil ngejar. Matilah kita. Digit anjing najis tauk. Uhhhh …”
“Ia
nih. Kemana dah ni sekarang? tambah nyasar kan? Malem deh sampe rumah.
Kalau dimarahin gimana?”
Semua saling menyalahkan. Campuran antara takut, cemas, dan khawatir tak bisa pulang menari-nari dalam otak. Suasana sekitar mulai sepi. Sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat. Tak mungkin kan jika mereka tiba-tiba menyetop salah satu kendaraan yang lewat.
Satu menit kemudian, keadaan berubah hening. Tak ada lagi pertengkaran kecil berbau salah – salahan. Hingga teriakan itu menggema …
“IHHHH,
FAWAID NGOMPOL!!!”
Semua pandangan tertuju pada jeans silver fawaid. Tak perlu menunggu lama. Tawapun pecah. Mencairkan suasana yang sempat mencekam.
Semua pandangan tertuju pada jeans silver fawaid. Tak perlu menunggu lama. Tawapun pecah. Mencairkan suasana yang sempat mencekam.
“Hahahahahahhhaaa
… Fawaid ngompol. Iuhh, jangan deket – deket. Pantesan aku nyium bau pesing.
Ihhhhhh … ”
Fawaid
berangsur kebelakang. Menutupi mukanya dengan telapak tangan. Hal itu membuat
tawa semakin menguar keras. Tingkah Fawaid yang seperti itu, semakin membuatnya
kelihatan seperti tokoh mister bean yang sering mereka lihat di TV.
“Udah
ee, tambah malem nih. yuk pulang. Biar aku yang di depan!” Cewek yang daritadi
menahan senyum pun mengambil alih pasukan.
“EMIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
…” teriak ke sepuluhnya bersamaan. Sebenarnya mereka memang curiga. Mana
mungkin cewek petakilan kaya emi nggak tau jalan. Diantara mereka bersebelas
kan hanya emi yang terkenal tukang keluyuran.
“Anggap
aja hiburan. Kalau daritadi aku yang mimpin perjalanan kan udah sampai. Nggak
aka nada kejadian dikejar anjing seperti barusan.” Jawabnya kalem, tanpa merasa
bersalah. Uhhh ….
***
Kejadian
ini tak serta merta membuat Nadia kapok. Entah sampai kapan ia bisa
menghilangkan penyakit pelupanya terhadap jalanan, ataupun sindrom buta arah
yang diderita. Ia tak akan pernah peduli. Baginya selama masih memiliki mulut
untuk bertanya, serta mata untuk melihat. Ia tak akan pernah kapok pergi
kemanapun. Bahkan sekalipun sendirian.
***
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar