Kamis, 24 Mei 2018

(2) Telephone Nyasar dan Seseorang Bernama Rudi


Dini begitu fokus pada ketikan keyboard dan klik-klik mouse pada benda kotak persegi berukuran 14 inc. Netra beningnya bergerak aktif memindai tulisan kecil pada kertas ke layar komputer. Tiga puluh menit berlalu, namun jumlah halaman di kertas genggamannya hanya berkurang sedikit. Dini pun mengencangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

Bersamaan dengan itu, dering gawainya berteriak nyaring. Dini mendesah kala mendapati nomor itu lagi. Nomor asing yang mengaku sebagai temannya saat pertama kali Dini mengangkat dan bertanya dengan siapa ia berbicara. Suara di seberang sana milik seorang lelaki, namun Dini tidak merasa familiar dengan suara tersebut.

"Ini, Rudi. Sudah lupakah kamu?"

Kening Dini mengerut. Rudi? Ia memiliki tiga orang teman bernama Rudi. Satu teman SMP, satu teman kuliah, serta satu pemilik salon langganan ia memangkas rambut. Ya, dia memang berteman dengan sang pemilik salon, mengingat betapa seringnya ia mengunjungi salon itu.

            Dini semakin keheranan, saat lelaki di ujung telepon mengatakan bukan salah satu dari Rudi yang Dini maksud. Lalu Rudi yang mana?

Kebanyakan melamun, Dini sampai tidak sadar jika telepon dalam genggamannya masih tersambung. Buru-buru Dini memutus panggilan saat tersadar jika bisa saja orang yang mengaku bernama Rudi itu hanya mengerjainya.

            "Dini, berisik! Kenapa nggak diangkat-angkat, sih?"

Teriakan Rahmad dari ruangan sebelah membuat Dini mengerjap dan memutus ingatannya pada beberapa pekan yang lalu. Lekas Dini mengangkat gawai yang semakin berdering nyaring.

"Hallo, maaf ada kepentingan apa ya?" ketus Dina sampai lupa mengucap salam. Padahal bukan kebiasaannya seperti itu.

"Saya Rudi, kamu lupa ya?"

"Ingat. Tapi yang harus kamu tahu, saya tidak pernah ingat punya teman Rudi lainnya selain Rudi yang saya maksud."

Kekehan di seberang sana membuat dengkusan Dini semakin keras. "Kalau kamu hanya berniat main-main saya tutup teleponnya," ancam Dini kemudian.

"Jangan. Ya, saya ngaku. Saya dapat nomor kamu dari koran bekas nasi bungkus."

Kejujuran yang baru saja diterimanya  sukses membuat Dini terbengong-bengong. Koran? Bungkus nasi?

Jangan ... Jangan ....

Ah, Dini ingat sekarang. Nomor teleponnya memang dipublikasikan di koran radar Indonesia saat ia berkesempatan magang di kantor media tersebut. Magang di divisi marketing iklan memberi dampak  kontak informasi pribadinya tersebar.

"Kamu yang kerja di kantor yang buat rumah-rumah itu, ya?"

            Ingin rasanya Dini berteriak kencang. Melepaskan rasa jengkel yang bergumul sesak di dada. Orang yang mengaku bernama Rudi ini sungguh banyak bertanya.

"Nggak. Kalau kamu nelpon saya buat beli rumah salah sambung. Saya nggak kerja di tempat yang kamu maksud."

"Terus kok nomornya kamu ada di koran?"

"Itu untuk kontak informasi bagi yang bersedia memasang iklan di koran radar indonesia. Lagi pula saya sudah berhenti magang di sana, jadi salah tujuan kalau kamu menghubungi saya," tekan Dina berapi-rapi.

"Saya memang sengaja menghubungi kamu kok. Saya juga menghubungi nomor lainnya. Cuma nggak ada yang diangkat, kamu saja yang mengangkat."

Dan setelah ini saya juga tidak akan mengangkat teleponmu lagi. Batin Dina.

"Kamu sudah punya suami atau pacar?"

Begitu pertanyaan itu keluar, Dini tanpa ragu mematikan sambungan teleponnya. Kali ini ia tidak lupa memblokir nomor telepon lelaki bernama Rudi tersebut dari kontak hp dan juga dari hidupnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar