Dini
begitu fokus pada ketikan keyboard dan klik-klik mouse pada benda kotak persegi
berukuran 14 inc. Netra beningnya bergerak aktif memindai tulisan kecil pada
kertas ke layar komputer. Tiga puluh menit berlalu, namun jumlah halaman di
kertas genggamannya hanya berkurang sedikit. Dini pun mengencangkan otot-ototnya yang
terasa kaku.
Bersamaan dengan itu, dering gawainya berteriak
nyaring. Dini
mendesah kala mendapati nomor itu lagi. Nomor asing yang mengaku sebagai temannya
saat pertama kali Dini mengangkat
dan bertanya dengan siapa ia berbicara. Suara di seberang sana milik seorang lelaki,
namun Dini
tidak merasa familiar dengan suara tersebut.
"Ini, Rudi. Sudah lupakah kamu?"
Kening Dini
mengerut. Rudi? Ia memiliki tiga orang teman bernama Rudi. Satu teman SMP, satu
teman kuliah, serta satu pemilik salon langganan ia memangkas rambut. Ya, dia
memang berteman dengan sang pemilik salon, mengingat betapa seringnya ia
mengunjungi salon itu.
Dini semakin keheranan, saat lelaki di ujung
telepon mengatakan bukan salah satu dari Rudi yang Dini maksud. Lalu Rudi yang mana?
Kebanyakan melamun, Dini sampai tidak sadar jika telepon dalam
genggamannya masih tersambung. Buru-buru Dini memutus panggilan saat tersadar jika
bisa saja orang yang mengaku bernama Rudi itu hanya mengerjainya.
"Dini, berisik! Kenapa nggak diangkat-angkat,
sih?"
Teriakan Rahmad dari ruangan sebelah membuat Dini mengerjap dan memutus ingatannya pada
beberapa pekan yang lalu. Lekas Dini
mengangkat gawai yang semakin berdering nyaring.
"Hallo, maaf ada kepentingan apa ya?"
ketus Dina sampai lupa mengucap salam. Padahal bukan kebiasaannya seperti itu.
"Saya Rudi, kamu lupa ya?"
"Ingat. Tapi yang harus kamu tahu, saya tidak
pernah ingat punya teman Rudi lainnya selain Rudi yang saya maksud."
Kekehan di seberang sana membuat dengkusan Dini semakin keras. "Kalau kamu hanya
berniat main-main saya tutup teleponnya," ancam Dini kemudian.
"Jangan. Ya,
saya ngaku. Saya dapat nomor kamu dari koran bekas nasi bungkus."
Kejujuran yang baru saja diterimanya sukses
membuat Dini
terbengong-bengong. Koran? Bungkus nasi?
Jangan ... Jangan ....
Ah, Dini
ingat sekarang. Nomor teleponnya memang dipublikasikan di koran radar Indonesia
saat ia berkesempatan magang di kantor media tersebut. Magang di divisi
marketing iklan memberi dampak kontak informasi pribadinya tersebar.
"Kamu yang kerja di kantor yang buat
rumah-rumah itu, ya?"
Ingin
rasanya Dini
berteriak kencang. Melepaskan rasa jengkel yang bergumul sesak di dada. Orang
yang mengaku bernama Rudi ini sungguh banyak bertanya.
"Nggak. Kalau kamu nelpon saya buat beli rumah
salah sambung. Saya nggak kerja di tempat yang kamu maksud."
"Terus kok nomornya kamu ada di koran?"
"Itu untuk kontak informasi bagi yang bersedia
memasang iklan di koran radar indonesia. Lagi pula saya sudah berhenti magang
di sana, jadi salah tujuan kalau kamu menghubungi saya," tekan Dina
berapi-rapi.
"Saya memang sengaja menghubungi kamu kok. Saya
juga menghubungi nomor lainnya. Cuma nggak ada yang diangkat, kamu saja yang
mengangkat."
Dan setelah ini saya juga tidak akan mengangkat
teleponmu lagi. Batin Dina.
"Kamu sudah punya suami atau pacar?"
Begitu pertanyaan itu keluar, Dini tanpa ragu mematikan sambungan
teleponnya. Kali ini ia tidak lupa memblokir nomor telepon lelaki bernama Rudi
tersebut dari kontak hp dan juga dari hidupnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar