Kamis, 24 Mei 2018

(4) Anak Baru



Seperti berada di galaxi lain. Gelap dan sendiri. Dari sini sebenarnya dapat melihat banyak bintang, hanya saja tak ada satupun yang mampu dicapai.

Aku tak tahu apakah keputusan yang aku ambil ini merupakan keputusan benar atau salah, mengingat dampak yang kuterima justru pedih.

Perasaan senang dan buncah bahagia yang kurasakan tiga puluh menit yang lalu seketika sirna dan tak berbekas. Memang susah menebak semesta, hal yang begitu kuinginkan kemarin rupanya berubah menjadi belati hari ini.

"Kamu anak baru itu ya dik, asal dari mana?"

Seorang perempuan hitam manis berbadan kurus menegurku. Aku menelan ludah gugup. "Ia, mbak. Rumah saya di semanggi."

"Oh, siapa namanya?"

"Dini, mbak. Kalau mbak sendiri?"

"Evi," jawabnya singkat.

Aku memutar otak. Mungkinkah perempuan ini adalah tunangan dari kakak sahabatku? 

Sebelum memutuskan untuk memenuhi undangan rekan kerjaku yang baru ini, memang aku telah mencari tahu terlebih dahulu siapa saja dan bagaimana kehidupan mereka. Aku berterimakasih pada penemu media sosial yang memudahkanku untuk melakukan stalker. Pesanku untuk kalian, jangan terlalu mengumbar kehidupan nyata di media sosial, karena privasimu tidak akan berharga lagi.

"Oh ya, kalau rumah mbak dimana? "

"Kaliurang, dik."

Aku tersenyum. Alhamdulillah, tidak semua penghuni di ruangan ini berupa alien.

Aku melihat lagi perempuan yang kini mengalihkan fokusnya pada anak kecil yang terlihat seperti miniatur mbak Evi. Sepertinya ada yang salah di sini, mungkinkah orang yang baru bertunangan telah memiliki seorang anak.

"Anak baru, tolong perkenalkan diri ya!"

Tergagap, kuanggukkan kepala. Setelah merapikan rok panjangku yang sedikit terlipat, segera aku berdiri dan memperkenalkan diri di hadapan teman-teman satu timku yang baru. Lebih tepatnya aku yang baru bergabung, sementara timnya sendiri telah terbentuk lama. Ada salah satu anggota tim lama yang resign, dan aku diminta menggantikannya.

Pada dasarnya aku memang bukan orang yang mudah berbaur, jadi berinteraksi dengan mereka rasanya sulit sekali. Yang kupikirkan saat menerima tawaran ini adalah karena aku penasaran dengan pekerjaannya. Dan memang aku telah menginginkannya sejak lama.

"Boleh minta nomor whatsapp?"

"Alamatnya di mana?"

Aku kaget saat mendapati respon mereka. Aku pikir perkenalanku akan diacuhkan, seperti saat pertama kali aku memasuki ruangan ini.

"Sudah, sudah. Nomor whatsappnya nanti cari sendiri di grup. Kita beralih ke pembahasan inti."

Aku kembali duduk dan menarik kesimpulan baru. Mungkin tadi mereka juga melihatku seperti alien. Makanya tak ada satupun yang menyapa. Pelajaran untukku, tak seharusnya aku terpaku pada keterdiamanku, seharusnya aku yang mencoba menyapa terlebih dahulu. Bagaimanapun di sini, akulah yang berstatus sebagai anak baru. Bukankah sejak awal aku telah berkeinginan keluar dari zona nyamanku sebagai seorang introvert?














Tidak ada komentar:

Posting Komentar