Seperti berada di galaxi lain. Gelap dan sendiri.
Dari sini sebenarnya dapat melihat banyak bintang, hanya saja tak ada satupun
yang mampu dicapai.
Aku tak tahu apakah keputusan yang aku ambil ini
merupakan keputusan benar atau salah, mengingat dampak yang kuterima justru
pedih.
Perasaan senang dan buncah bahagia yang kurasakan
tiga puluh menit yang lalu seketika sirna dan tak berbekas. Memang susah
menebak semesta, hal yang begitu kuinginkan kemarin rupanya berubah menjadi
belati hari ini.
"Kamu anak baru itu ya dik, asal dari
mana?"
Seorang perempuan hitam manis berbadan kurus
menegurku. Aku menelan ludah gugup. "Ia, mbak. Rumah saya di
semanggi."
"Oh, siapa namanya?"
"Dini,
mbak. Kalau mbak sendiri?"
"Evi," jawabnya singkat.
Aku memutar otak. Mungkinkah perempuan ini adalah
tunangan dari kakak sahabatku?
Sebelum memutuskan
untuk memenuhi undangan rekan kerjaku yang baru ini, memang aku telah mencari
tahu terlebih dahulu siapa saja dan bagaimana kehidupan mereka. Aku
berterimakasih pada penemu media sosial yang memudahkanku untuk melakukan
stalker. Pesanku untuk kalian, jangan terlalu mengumbar kehidupan nyata di
media sosial, karena privasimu tidak akan berharga lagi.
"Oh ya, kalau rumah mbak dimana? "
"Kaliurang, dik."
Aku tersenyum. Alhamdulillah, tidak semua penghuni
di ruangan ini berupa alien.
Aku melihat lagi perempuan yang kini mengalihkan
fokusnya pada anak kecil yang terlihat seperti miniatur mbak Evi. Sepertinya
ada yang salah di sini, mungkinkah orang yang baru bertunangan telah memiliki
seorang anak.
"Anak baru, tolong perkenalkan diri ya!"
Tergagap, kuanggukkan kepala. Setelah merapikan rok
panjangku yang sedikit terlipat, segera aku berdiri dan memperkenalkan diri di
hadapan teman-teman satu timku yang baru. Lebih tepatnya aku yang baru
bergabung, sementara timnya sendiri telah terbentuk lama. Ada salah satu
anggota tim lama yang resign, dan aku diminta menggantikannya.
Pada dasarnya aku memang bukan orang yang mudah
berbaur, jadi berinteraksi dengan mereka rasanya sulit sekali. Yang kupikirkan
saat menerima tawaran ini adalah karena aku penasaran dengan pekerjaannya. Dan
memang aku telah menginginkannya sejak lama.
"Boleh minta nomor whatsapp?"
"Alamatnya di mana?"
Aku kaget saat mendapati respon mereka. Aku pikir
perkenalanku akan diacuhkan, seperti saat pertama kali aku memasuki ruangan
ini.
"Sudah, sudah. Nomor whatsappnya nanti cari
sendiri di grup. Kita beralih ke pembahasan inti."
Aku kembali duduk dan menarik kesimpulan baru.
Mungkin tadi mereka juga melihatku seperti alien. Makanya tak ada satupun yang
menyapa. Pelajaran untukku, tak seharusnya aku terpaku pada keterdiamanku,
seharusnya aku yang mencoba menyapa terlebih dahulu. Bagaimanapun di sini,
akulah yang berstatus sebagai anak baru. Bukankah sejak awal aku telah
berkeinginan keluar dari zona nyamanku sebagai seorang introvert?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar