"Hai, Din.
Apa kabar?"
Sebuah sapaan sederhana yang ternyata masih mampu
membuat degup jantung sang gadis berdebar. Alih-alih menjawab, sang gadis malah
sibuk berkelana dengan pikirannya.
Sang gadis mulai berhitung mundur. Dua tahun yang
lalu mendengar suara lelaki itu mampu membuat pipinya merona, apakah saat ini
rona itu masih ada? Seharusnya sih iya, mengingat betapa panas wajahnya saat
ini. Tak hanya pipinya pasti yang berwarna, namun seluruh wajah.
Dua tahun gadis itu berjuang keras melupakan, namun
mengapa semua perjuangan tersebut runtuh hanya dalam sekejab? Hanya dengan
melihat lelaki berlensa kotak itu tersenyum dan menyapanya ramah.
"Sudah lama nggak ketemu. Gimana kabar?"
"Alhamdulillah, baik." Akhirnya setelah
bersusah payah, keluar juga suara dari bibir si gadis. Meskipun sebelas dua
belas dengan lirihan tikus terjepit.
"Nggak mau salaman sama mantan, Din?" Pertanyaan luar biasa itu
terdengar sangat jelas oleh telinga si gadis, seolah lelaki tersebut
mengucapkan tanpa beban. Berbeda sekali dengan kecamuk di hatinya yang membuat
sang empunya terkena serangan sakit kepala.
Si gadis pun memutuskan untuk menjawab pendek.
"Bukan muhrim."
Memang benar, si gadis telah banyak berubah.
Menskipun baru menyentuh tahap hijrah, ia bersikeras ingin mengamalkan ilmunya.
"Hahaha .... Ok, ok kalau begitu. Oh ia,
kemarin aku bertemu Ulva. Anak perempuan itu putrinya?"
"Ya."
"Kamu jangan iri ya. Kita dua tahun lagi nyusulnya, ya? Sekarang bersabar dulu."
Netra si gadis membola, sedetik kemudian
mengerjap-ngerjap lucu. Mulut lelaki ini memang sungguh manis. Si gadis harus
kuat menjaga hatinya. "Maksudnya apa?"
"Boleh minta nomor WAmu Din, biar kita tetap terhubung?"
Si gadis bimbang. Ini kesempatan bagus, mengingat
sebenarnya ia masih menyimpan rasa. Tapi bukankah seharusnya perasaan yang
membuat degup jantung itu menggila harus segera dimusnahkan?
Mengembuskan napas panjang, gadis itu terlihat lelah
menghadapi pikiran si otak. Kita lihat saja apakah keputusannya memberika nomor
whatsappnya benar atau tidak.
"Terimakasih mantan terindah. Aku balik dulu,
jaga hati kamu untuk kita ya. Tunggu aku dua tahun lagi."
Belum selesai kekagetan si gadis saat mendengar
pernyataan terakhirnya, si lelaki telah melesat dan pergi menaiki bis.
Sebuh pesan masuk menginterupsi atensi si gadis.
Seketika perasaan menyesal menyelimuti hatinya.
Mantan terindah, simpan nomorku ya?
Bukan isi pesannya yang salah, namun foto profil
yang digunakan si lelaki. Sebuah foto profil yang menampilkan si lelaki tengah
bersandar pada seorang wanita berkerudung tosca. Dan jelas, itu bukanlah
dirinya.
Air mata mengenang di pelupuk si gadis. Ia telah
kalah. Kalah oleh kicauan manis lelaki yang tak halal untuknya. Bukankah
seharusnya ia belajar dari masa lalu? Bagaimana jenis lelaki yang hanya pandai
mengobral gombalan manis yang memabukkan dan yang menghormati atau memuliakan
perempuan?
Dan jelas, lelaki tadi termasuk tipe lelaki yang
pertama. Bukan lelaki yang diharapkan menjadi qawwamnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar