Kamis, 24 Mei 2018

(5) Allah Memberi Yang Kita Butuhkan



Besi tak akan menjadi besi sebelum ditempa dengan keras. Be strong, Din. You will be survive and every thing wanna be ok.

      Langkahku meragu kala menuruni tangga di belakang rumah budhe. Ada seseorang dengan senyum simetris menghampiriku.

"Katanya, kamu sudah bekerja di Argopuro?" tanyanya membuat senyum samar di bibirku seketika sirna.

Ya Tuhan, mengapa kabar burung ini begitu cepat menguar? Apakah terbawa angin atau bagaimana? Padahal sejak awal aku telah hati-hati dalam berbicara pada setiap tetangga yang bertanya mengenai kehidupanku.

Minggu lalu aku mendapat panggilan interview sekaligus lansung diminta observasi dan adaptasi dengan lingkungan di sana. Membuat ibuku langsung mengambil kesimpulan jika aku pasti diterimai.

Salahku adalah, aku yang memberitahu Ibu menggunakan handphone Budhe. Jadilah budhe tahu dan bercerita pada saudara lainnya. Yang aku herankan mengapa jadi satu kompleks tahu semua.

Aku benar-benar malu, terlebih ternyata hingga saat ini tak ada panggilan kelanjutan dari pihak perusahaan. Mungkin aku memang tidak diterima di sana.

"Nggak kok. Waktu itu hanya panggilan interview saja." Aku menelan ludah susah payah.

"Oh. Saya pikir sudah kerja. Katanya kamu sudah menetap di Argopuro kabarnya." Entah mengapa aku mendengar nada meremehkan dari suaranya. Astaufirullah. Aku segera menggelengkan kepala. Tidak seharusnya berburuk sangka pada orang lain.

"Izzah sudah pindah kerja di Arjasa sekarang."

Aku sudah tahu. Anaknya, si Izzah rajin memposting kegiatan sehari-harinya di whatsapp story. Bahkan gajinya pun terkadang ia photo dan share di sana.

Aku hanya mengangguk sebagai tanggapan.

"Nggak terasa sudah 7 bulan Izzah kerja. 4 bulan kemarin di Dadapan, 3 bulan terakhir ini di Arjasa. Kalau kerja waktu terasa cepat ya."

"Ya begitulah. Eh, bu lek, saya mau ambil lap piring dulu ya. Disuruh Budhe."      

Secepat kecepatan super hero flash, aku melesat menuju bangunan sebelah tempat penjemuran pakaian.

Rasanya aku tidak betah berlama-lama mengobrol dengan wanita itu. Orang-orang banyak membandingkanku dengan anaknya, si Izzah. Kata mereka, Dini--si lulusan S1--kalah dengan Izzah--lalusan SMA.

Ya. Waktu itu, sebelum melamar di perusahaan yang saat ini menggantung status penerimaanku,  kami pernah apply lamaran di perusahaan yang sama namun yang diterima ternyata Izzah. Bukan aku.

Bohong kalau aku bilang tidak sedih dan menangis, yang aku rasakan lebih dari itu. Tapi aku berusaha untuk optimis dan mensugersti otak. Jika rejeki tidak akan tertukar. Bisa saja aku tidak diijinkan bekerja di sana oleh Allah lantaran suasana kerjanya keras dan aku pasti tidak betah. Ya, Allah memang selalu memberikan yang kita butuhkan kan, bukan yang kita inginkan?








Tidak ada komentar:

Posting Komentar