Besi
tak akan menjadi besi sebelum ditempa dengan keras. Be strong, Din. You will be survive
and every thing wanna be ok.
Langkahku
meragu kala menuruni tangga di belakang rumah budhe. Ada seseorang dengan
senyum simetris menghampiriku.
"Katanya, kamu sudah bekerja di Argopuro?"
tanyanya membuat senyum samar di bibirku seketika sirna.
Ya Tuhan, mengapa kabar burung ini begitu cepat
menguar? Apakah terbawa angin atau bagaimana? Padahal sejak awal aku telah
hati-hati dalam berbicara pada setiap tetangga yang bertanya mengenai
kehidupanku.
Minggu lalu aku mendapat panggilan interview
sekaligus lansung diminta observasi dan adaptasi dengan lingkungan di sana.
Membuat ibuku langsung mengambil kesimpulan jika aku pasti diterimai.
Salahku adalah, aku yang memberitahu Ibu menggunakan
handphone Budhe. Jadilah budhe tahu dan bercerita pada saudara lainnya. Yang aku
herankan mengapa jadi satu kompleks tahu semua.
Aku benar-benar malu, terlebih ternyata hingga saat
ini tak ada panggilan kelanjutan dari pihak perusahaan. Mungkin aku memang
tidak diterima di sana.
"Nggak kok. Waktu itu hanya panggilan interview
saja." Aku menelan ludah susah payah.
"Oh. Saya pikir sudah kerja. Katanya kamu sudah
menetap di Argopuro kabarnya." Entah mengapa aku mendengar nada meremehkan
dari suaranya. Astaufirullah. Aku segera menggelengkan kepala. Tidak seharusnya
berburuk sangka pada orang lain.
"Izzah sudah pindah kerja di Arjasa
sekarang."
Aku sudah tahu. Anaknya, si Izzah rajin memposting
kegiatan sehari-harinya di whatsapp story. Bahkan gajinya pun terkadang ia
photo dan share di sana.
Aku hanya mengangguk sebagai tanggapan.
"Nggak terasa sudah 7 bulan Izzah kerja. 4
bulan kemarin di Dadapan, 3 bulan terakhir ini di Arjasa. Kalau kerja waktu
terasa cepat ya."
"Ya begitulah. Eh, bu lek, saya mau ambil lap
piring dulu ya. Disuruh Budhe."
Secepat kecepatan super hero flash, aku melesat
menuju bangunan sebelah tempat penjemuran pakaian.
Rasanya aku tidak betah berlama-lama mengobrol
dengan wanita itu. Orang-orang banyak membandingkanku dengan anaknya, si Izzah.
Kata mereka, Dini--si
lulusan S1--kalah dengan Izzah--lalusan SMA.
Ya. Waktu itu, sebelum melamar di perusahaan yang
saat ini menggantung status penerimaanku,
kami pernah apply lamaran di perusahaan yang sama namun yang diterima
ternyata Izzah. Bukan aku.
Bohong kalau aku bilang tidak sedih dan menangis,
yang aku rasakan lebih dari itu. Tapi aku berusaha untuk optimis dan
mensugersti otak. Jika rejeki tidak akan tertukar. Bisa saja aku tidak
diijinkan bekerja di sana oleh Allah lantaran suasana kerjanya keras dan aku
pasti tidak betah. Ya, Allah memang selalu memberikan yang kita butuhkan kan,
bukan yang kita inginkan?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar