Namanya Mbah Putri. Hari ini aku menjadi pendengar
kisahnya dengan sang suami. Di luar matahari sedang terik, kami (aku, Vita,
Bagus dan Mbah Putri) sedang diserang kantuk luar biasa. Demi mengusir
ketidaknyamanan itu semua, aku memancing Mbah Putri dengan pertanyaan-pertanyaan
ajaib.
"Mbah, kenapa cinta banget ke mbah kakung?
Segala hal yang mbah beli dikasikan ke mbah kakung. Beli es campur, buat mbah
kakung. Dikasih kue dibagi ke mbah kakung. Pokoknya, apapun yang mbah lakukan
tetap ingat ke mbah kakung?"
Si mbah tertawa malu-malu. Kulit keriputnya bergerak
seiring dengan gelak tawanya. "Yang namanya ke suami itu, ya begitu.
Apalagi sudah semakin tua, umur semakin pendek. Kebersamaan di dunia hampir
habis. Lihat aja nanti kamu kalau sudah tua, pasti makin cinta ke suami.
Apa-apa ingat suami."
"Makin romantis ya, Mbah?" kejarku.
"Wah, kalau romantis sih, lebih romantis waktu
muda. Dulu mbah waktu pengantin baru diajak jalan-jalan, liat kereta api. Terus
ke pasar tamanan, segala jajan dibelikan."
Netra mbah berbinar-binar kala menjelaskan itu
semua. Kemudian aku teringat sesuatu.
"Katanya mbah dulu nggak mau dinikahkan sama
mbah kakung? Sering kabur-kaburan."
"Wah, masih ingat kamu. Hahahaa. Dulu, mbah
kalau tidur pasti di bawah, di pojokan. Takut sama mbah kakungmu. Empat bulan
seperti itu terus. Untung mbah kakung sabar. Setiap malam mbah digendong.
Dipindah ke atas tempat tidur. Waktu
nikah dulu naik andong dari kenjeran ke kemuning. Dari rumah orangtua mbah ke
rumah mbah kakung."
"Andong hias mbah?"
"Ia. Tapi dulu andongnya sederhana. Masih ada
lo photonya waktu naik andong."
"Jaman dulu sudah ada photo mbah?" Kali
ini si Bagus yang menimpali pertanyaannya.
"Ada. Tapi nggak sebagus sekarang."
"Masih hitam putih ya mbah?" selaku.
"Ia."
"Mbah, nikah umur berapa sih terus kenalnya
sama mbah kakung gimana?" Aku semakin penasaran dengan kisah beliau.
"Umur tiga belas tahun. Mbah dulu kelas lima sd
sudah berhenti sekolah. Belum dapat ijazah. Tapi mbah dulu pintar matematika.
Temannya mbah itu, sering nyontek ke mbah. Terus mbah dikasih uang. Sayang
banget berhenti. Soalnya dulu nggak punya biaya. Bapaknya mbah sudah meninggal
waktu mbah kecil. Terus mbah sering ikut Ibu jualan."
"Mbah kok mau nangis?" Pertanyaan Bagus
kala melihat bening di netra mbah berkaca-kaca.
"Ini inget sama perjuangan dulu, dek."
"Terus mbah ceritanya." Interupsiku lagi.
"Kalau pulang jualan dulu jam tiga dini hari.
Kadang mbah ketemu hantu atau macan. Serem pokoknya."
Aku tidak suka cerita hantu. Jadi aku potong saja
cerita mbah. "Terus ketemu mbah kakungnya kapan?"
"Dulu mbah sering ke rumah saudara. Lalu, mbah
kakung juga sering ke rumah saudara. Kebetulan rumah mereka berdekatan. Jadi
kamu dijodohkan. Cuma dalam waktu sepuluh hari, tahu-tahu kami sudah menikah
saja."
"Ia. Nggak usah pacaran. Sekarang kebanyakan
pacaran lama tapi nggak jadi nikah sama pacarnya. Itu namanya jagain jodoh
orang."
"Lagian pacaran juga nggak dibolehkan dalam
islam mbah."
"Betul itu."

Tidak ada komentar:
Posting Komentar