Kamis, 24 Mei 2018

(8) Cerita Mbah Putri



Namanya Mbah Putri. Hari ini aku menjadi pendengar kisahnya dengan sang suami. Di luar matahari sedang terik, kami (aku, Vita, Bagus dan Mbah Putri) sedang diserang kantuk luar biasa. Demi mengusir ketidaknyamanan itu semua, aku memancing Mbah Putri dengan pertanyaan-pertanyaan ajaib.

"Mbah, kenapa cinta banget ke mbah kakung? Segala hal yang mbah beli dikasikan ke mbah kakung. Beli es campur, buat mbah kakung. Dikasih kue dibagi ke mbah kakung. Pokoknya, apapun yang mbah lakukan tetap ingat ke mbah kakung?"

Si mbah tertawa malu-malu. Kulit keriputnya bergerak seiring dengan gelak tawanya. "Yang namanya ke suami itu, ya begitu. Apalagi sudah semakin tua, umur semakin pendek. Kebersamaan di dunia hampir habis. Lihat aja nanti kamu kalau sudah tua, pasti makin cinta ke suami. Apa-apa ingat suami."

"Makin romantis ya, Mbah?" kejarku.

"Wah, kalau romantis sih, lebih romantis waktu muda. Dulu mbah waktu pengantin baru diajak jalan-jalan, liat kereta api. Terus ke pasar tamanan, segala jajan dibelikan."

Netra mbah berbinar-binar kala menjelaskan itu semua. Kemudian aku teringat sesuatu.

"Katanya mbah dulu nggak mau dinikahkan sama mbah kakung? Sering kabur-kaburan."

"Wah, masih ingat kamu. Hahahaa. Dulu, mbah kalau tidur pasti di bawah, di pojokan. Takut sama mbah kakungmu. Empat bulan seperti itu terus. Untung mbah kakung sabar. Setiap malam mbah digendong. Dipindah ke atas tempat tidur.  Waktu nikah dulu naik andong dari kenjeran ke kemuning. Dari rumah orangtua mbah ke rumah mbah kakung."

"Andong hias mbah?"

"Ia. Tapi dulu andongnya sederhana. Masih ada lo photonya waktu naik andong."

"Jaman dulu sudah ada photo mbah?" Kali ini si Bagus yang menimpali pertanyaannya.

"Ada. Tapi nggak sebagus sekarang."

"Masih hitam putih ya mbah?" selaku.

"Ia."

"Mbah, nikah umur berapa sih terus kenalnya sama mbah kakung gimana?" Aku semakin penasaran dengan kisah beliau.

"Umur tiga belas tahun. Mbah dulu kelas lima sd sudah berhenti sekolah. Belum dapat ijazah. Tapi mbah dulu pintar matematika. Temannya mbah itu, sering nyontek ke mbah. Terus mbah dikasih uang. Sayang banget berhenti. Soalnya dulu nggak punya biaya. Bapaknya mbah sudah meninggal waktu mbah kecil. Terus mbah sering ikut Ibu jualan."

"Mbah kok mau nangis?" Pertanyaan Bagus kala melihat bening di netra mbah berkaca-kaca.

"Ini inget sama perjuangan dulu, dek."

"Terus mbah ceritanya." Interupsiku lagi.

"Kalau pulang jualan dulu jam tiga dini hari. Kadang mbah ketemu hantu atau macan. Serem pokoknya."

Aku tidak suka cerita hantu. Jadi aku potong saja cerita mbah. "Terus ketemu mbah kakungnya kapan?"

"Dulu mbah sering ke rumah saudara. Lalu, mbah kakung juga sering ke rumah saudara. Kebetulan rumah mereka berdekatan. Jadi kamu dijodohkan. Cuma dalam waktu sepuluh hari, tahu-tahu kami sudah menikah saja."

"Ia. Nggak usah pacaran. Sekarang kebanyakan pacaran lama tapi nggak jadi nikah sama pacarnya. Itu namanya jagain jodoh orang."

"Lagian pacaran juga nggak dibolehkan dalam islam mbah."

"Betul itu."
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar