Tak ada seseorang yang terlahir sukses. Kita harus berjuang berjuang sendiri untuk mendapatkannya. ~ Anonim
Yang rajin membaca blog saya dari awal pasti sudah tahu, jika beberapa bulan belakangan ini saya dilanda krisis kepercayaan diri. Sebuah permasalahan yang sebenarnya disebabkan oleh hal-hal sepele. Hal-hal yang jika kembali diingat, menjadi sebuah tamparan keras untuk saya. Saya terlalu berpikir picik. Terpaku pada hidup orang lain dan menginginkan kehidupan yang sama.
Padahal sejak awal saya menyadari, jika saya memang terlahir berbeda dengan mereka. Saya bukan gadis kecil yang selalu mendapatkan keinginan dengan mudah. Saya hanyalah gadis kecil yang terlalu senang bisa sekolah meskipun dengan keadaan yang terbatas. Uang saku pas-pasan, yang bahkan harus ditabung jika ingin mengerjakan tugas ke warnet dan mengeprint. Dari SD sampai SMK harus berjalan kaki ke sekolah, dan tidak memakai tas dan sepatu yang bagus seperti teman-teman.
Tapi saya sudah cukup senang dengan keadaan seperti itu. Dulu saya merasa jika seperti itulah hidup yang sebenarnya. Penuh tantangan dan perjuangan. Saya selalu optimis jika kelak, saya dapat merubah perekonomian keluarga. Tekat saya hanya satu, ingin membalas cemoohan tetangga dengan keberhasilan. Maka dari itu saya tidak pernah main-main dalam belajar. Di saat teman-teman saya asyik pacaran, saya malah ikut ibu memanen cabe di sawah agar dapat membeli sepatu baru.
Dan sekarang, setelah perjuangan panjang yang saya lalui hingga akhirnya sebentar lagi menjadi sarjana, saya malah mulai resah dan seakan lupa dengan tujuan saya. Kemudian saya menginginkan untuk menikah muda, dan membina keluarga seperti teman-teman yang lain.
Saya malu sebenarnya menulis ini, tapi harus saya lakukan agar terus mengingat niat awal saya. Agar saya kembali fokus mengejar mimpi. Memperbaiki kondisi perekonomian keluarga dan menyekolahkan adik hingga perguruan tinggi. Masalah jodoh sudah menjadi ketetapan ilahi bukan? Saya seharusnya tidak goyah akan desas-desus lingkungan sekitar. Biarlah mereka yang lebih muda dari saya menikah terlebih dahulu, saya harus memprioritaskan keluarga. Nanti juga akan hadir pangeran yang sholeh dan mencintai dan menerima saya apa adanya.
Padahal sejak awal saya menyadari, jika saya memang terlahir berbeda dengan mereka. Saya bukan gadis kecil yang selalu mendapatkan keinginan dengan mudah. Saya hanyalah gadis kecil yang terlalu senang bisa sekolah meskipun dengan keadaan yang terbatas. Uang saku pas-pasan, yang bahkan harus ditabung jika ingin mengerjakan tugas ke warnet dan mengeprint. Dari SD sampai SMK harus berjalan kaki ke sekolah, dan tidak memakai tas dan sepatu yang bagus seperti teman-teman.
Tapi saya sudah cukup senang dengan keadaan seperti itu. Dulu saya merasa jika seperti itulah hidup yang sebenarnya. Penuh tantangan dan perjuangan. Saya selalu optimis jika kelak, saya dapat merubah perekonomian keluarga. Tekat saya hanya satu, ingin membalas cemoohan tetangga dengan keberhasilan. Maka dari itu saya tidak pernah main-main dalam belajar. Di saat teman-teman saya asyik pacaran, saya malah ikut ibu memanen cabe di sawah agar dapat membeli sepatu baru.
Dan sekarang, setelah perjuangan panjang yang saya lalui hingga akhirnya sebentar lagi menjadi sarjana, saya malah mulai resah dan seakan lupa dengan tujuan saya. Kemudian saya menginginkan untuk menikah muda, dan membina keluarga seperti teman-teman yang lain.
Saya malu sebenarnya menulis ini, tapi harus saya lakukan agar terus mengingat niat awal saya. Agar saya kembali fokus mengejar mimpi. Memperbaiki kondisi perekonomian keluarga dan menyekolahkan adik hingga perguruan tinggi. Masalah jodoh sudah menjadi ketetapan ilahi bukan? Saya seharusnya tidak goyah akan desas-desus lingkungan sekitar. Biarlah mereka yang lebih muda dari saya menikah terlebih dahulu, saya harus memprioritaskan keluarga. Nanti juga akan hadir pangeran yang sholeh dan mencintai dan menerima saya apa adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar